Listrik Indonesia | Tiba-tiba pemerintah melalui Ditjen Minerba menerbitkan Surat Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021, berisi larangan ekspor batubara yang berlaku 1 hingga 31 Januari 2022. Larangan terbit guna menjamin tersedianya pasokan batubara bagi puluhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang dioperasikan PLN, berkapasitas sekitar 10.000 MW. Jika batubara sebagai energi primer PLTU tidak segera dipenuhi, maka listrik bagi sekitar 10 juta pelanggan akan padam.
Marwan Batubara, pengamat energi IRESS dalam tulisannya menyiratkan, ternyata pada 10 Januari 2022, ekspor batubara kembali dibuka. Alasannya karena persediaan batubara PLN sudah mulai “membaik”. Dikatakan membaik, memang setelah larangan ekspor, persediaan PLN telah meningkat menjadi sekitar 15 hari dari sebelumnya hanya 3-4 hari, saat manajemen PLN mengirim “SOS” ke pemerintah (31/12/2021) tentang kemungkinan pemadaman bagi 10 juta pelanggan. Ke depan, pemerintah mengatakan akan melakukan “perbaikan”, termasuk meninjau kebijakan harga DMO. Rakyat harus waspada.
Sepanjang 2021, Indonesia diperkirakan memproduksi sekitar 610 juta ton batubara. Kebutuhan batubara domestik hanya sekitar 130 juta ton, dimana PLN mengkonsumsi sekitar 115 juta ton. Karena kebutuhan domestik jauh di bawah kemampuan produksi, maka mestinya PLN tidak mengalami krisis pasokan. Lantas mengapa krisis sampai terjadi?
Penyebab utama krisis ketersediaan batubara bagi PLTU-PLTU yang dioperasikan PLN (milik sendiri dan IPP) adalah karena para pengusaha batubara lebih mengutamakan mengekspor batubara dibanding menjual di dalam negeri. Hal ini berpangkal dari naiknya harga batubara acuan (HBA) nasional sesuai kenaikan harga batubara dunia sekitar 80% sepanjang 2021. Sedangkan harga batubara DMO (domestic market obligation) tetap.
Sesuai peraturan yang berlaku, seluruh produsen batubara wajib mengalokasikan 25% produksinya untuk kebutuhan dalam negeri, terutama untuk kebutuhan PLTU batubara PLN. Harga batubara kebutuhan domestik adalah US$ 70 per ton (nilai kalori 6322 kcal/kg). Harga batubara domestik ini tidak berubah mengikuti naiknya harga batubara dunia/HBA. Jika HBA turun di bawah US$ 70, maka harga DMO mengikuti HBA (pemerintah pun memberi insentif).
Karena harga ekspor jauh lebih tinggi dibanding harga DMO, maka para pengusaha tidak merasa perlu memasok batubara ke PLN. Demi mengejar untung besar, para kontraktor PKP2B dan pengusaha pemegang IUP/IUPK batubara nekat melanggar aturan. Sikap serakah dan egois ini membuat para pengusaha oligarkis menghalalkan segala cara untuk memperoleh rente besar dari SDA negara, tanpa peduli kelangsungan pelayanan PLN dan ratusan juta pelanggan PLN.
Ketentuan volume DMO (sekitar 25%) rutin ditetapkan setiap tahun, jauh sebelum 2018. Namun harga khusus DMO sebesar US$ 70 per ton pertama kali ditetapkan pada 2018 sesuai Kepmen ESDM No.1395 (9/3/2018). Ketentuan berhasil diraih setelah PLN dan berbagai kalangan, termasuk sejumlah rektor dan akademisi perguruan tinggi utama, pakar, LSM dan aktivis, melakukan berbagai langkah advokasi panjang dan berkelanjutan yang menuntut agar pemerintah menetapkan harga khusus batubara bagi PLN, lebih rendah dari HBA.
Tujuan advokasi adalah agar PLN yang mengoperasikan sekitar 65% pembangkit batubara, saat harga Batubara/HBA meningkat, terhindar dari kenaikan beban biaya operasi signifikan dan pelanggan listrik pun tidak mengalami kenaikan tarif listrik. Saat itu, gerakan masyarakat sipil ini tidak terlalu mendapat dukungan DPR, apalagi para kontraktor PKP2B dan pemegang izin IUP/IUPK. Bahkan sejumlah pejabat negara yang merangkap pengusaha batubara pun justru berada di pihak para oligarki batubara, menolak harga khusus DMO bagi PLN!
Salah satu pejabat negara yang menolak harga DMO US$ 70 per ton adalah Menko Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). LBP mengatakan "Intinya kami mau cabut kebijakan DMO batu bara” (1/8/2018). Untunglah rencana yang dicetuskan LBP tersebut batal direalisasikan. Namun dalam seminggu terkahir, terindikasi LBP mulai mengutik harga DMO khusus tsb.
Harga batubara dunia/HBA yang terus naik membuat para pengusaha oligarkis memilih mengekspor dibanding menjual sesuai DMO US$ 70 per ton. Sepanjang 2021 harga batubara dunia naik dari sekitar US$ 84 (11/1), mencapai US$ 240 (4/10) dan turun ke US$ 170 per ton (30/12). HBA nasional (terbit bulanan oleh Kementrian ESDM) juga naik sebanding kenaikan harga dunia, yakni dari US$ 75,84 (1/2021), level tertinggi US$ 215,01 (11/2021) dan turun ke US$ 159,79 per ton (12/2021). Secara rerata HBA nasional sepanjang 2021 adalah sekitar US$ 122 per ton, atau lebih tinggi sekitar U$ 52 dibanding harga DMO US$ 70 per ton.
Dari target produksi 2021 sebesar 625 juta ton, realisasi produksi batubara nasional 2021 diperkirakan 610 juta ton. Jika volume DMO sekitar 130 juta ton, maka volume ekspor batubara Indonesia 480 juta ton. Dengan demikian, tambahan pendapatan akibat selisih harga ekspor dengan DMO sekitar US$ 52 x 480 juta = US$ 24,9 miliar! Diperkirakan, dari US$ 24,9 miliar ini, para pengusaha batubara, termasuk para penguasa-pengusaha oligarkis minimal memperoleh tambahan keuntungan sekitar 40% (sangat pesimistik) atau sekitar US$ 10 miliar! Untung ini jelas bertambah jika kewajiban DMO dilanggar.
Penentuan harga DMO US$ 70 per ton tidak dilakukan tanpa dasar. Seluruh aspek terkait telah diperhitungkan secara komprehensif, seperti aspek-aspek ekonomi, kelayakan bisnis (IRR sektor terpenuhi), pajak, PNBP, keberlanjutan, kepentingan daerah, dll. Dengan harga DMO US$ 70 per ton, kepentingan bisnis para pengusaha batubara telah diperhatikan dan tetap untung. Namun pada saat yang sama, seluruh pelanggan PLN yang jumlahnya lebih dari 250 juta orang juga ikut memperoleh manfaat! Prinsipnya, di samping memberi keuntungan kepada para pengusaha batubara, manfaat kenaikan SDA batubara milik negara juga dinikmati oleh hampir seluruh rakyat NKRI secara adil dan merata.
Ternyata kebijakan yang adil ini masih juga dilanggar. Meski telah memperoleh windfall profit dari ekspor batubara non DMO, sekitar US$ 10 miliar, oligarki masih coba merampok hak rakyat dengan membangkang kewajiban DMO (25%). Sikap pembangkang ini tampaknya bisa berjalan mulus karena mendapat dukungan oknum-oknum pejabat oligarkis, antara lain dengan menjalankan kebijakan sarat moral hazard. Padahal dengan harga DMO tetap berlaku, usaha PLN tertap berkelanjutan dan ratusan juta rakyat terhindar dari kenaikan tarif listrik.
Meskipun PLN akhirnya telah “tertolong” dengan larangan ekspor batubara, rakyat wajar menuntut para pembangkang kewajiban DMO diberi sanksi. Karena itu, tanpa harus mencabut izin usaha (pernyataan ini sarat retorika), minimal pemerintah harus menyita seluruh windfall profit yang diperoleh dari selisih HBA dengan harga DMO. Selain itu, prinsip harga DMO US$ 70 ton harus dipertahankan, karena manfaatnya akan dirasakan ratusan juta rakyat Indonesia dibanding hanya oleh segelintir pengusaha batubara, terutama saat HBA naik.
Peringatan dini krisis pasokan batubara rutin dan intens dilakukan manajemen PLN pada pemerintah, terutama saat HBA naik. Keluhan muncul terutama karena pembangkangan para pengusaha batubara terhadap kewajiban DMO. Selain itu, untuk mengamankan pasokan, terutama di daerah-daerah yang sulit dipasok, PLN mendirikan anak usaha, PLN Batubara. Namun berbagai keluhan PLN ini tidak digubris oleh regulator, terutama Kementrian ESDM dan Kementrian BUMN. Malah kebijakan DMO akan ditinjau, Direktur Energi Primer PLN dipecat atas alasan absurd, dan PLN Batubara pun “dibully” sebagai sumber masalah dan akan dibubarkan. Hal-hal terkait kebijakan seperti ini akan diuraikan dalam tulisan IRESS berikut.