Energi di Persimpangan Jalan: Sejahtera atau Ramah Lingkungan? (Bagian 1)

Oleh : Hafizh Akbar
Koordinator Wilayah Kommun Yogyakarta dan Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Negeri Yogyakarta
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan populasi penduduk terpadat ke 4 di dunia. Tentu setiap negara berkembang memiliki cita-cita akan kemakmuran dan tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi layaknya negara maju. Namun, tak hayal membalikan telapak tangan, melangkah dari negara berkembang menuju negara maju adalah tugas yang sangat berat.
Dengan populasi penduduk yang sangat besar, tantangan terbesar Indonesia adalah pengentasan kemiskinan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi ini bisa dikatakan berasal dari energi. Di mana energi menjadi sektor penguat di segala lini kehidupan seperti industri, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Bahkan, pendorong pertumbuhan ekonomi sebenarnya bukan berasal dari investasi yang sedang digadang-gadang pemerintah melalui omnibus law, melainkan dari penguatan energi khususnya pengadaan energi listrik.
Di indonesia, biaya listrik dibebankan kepada konsumen. Untuk mencapai kemakmuran suatu negara, salah satu faktornya adalah penyediaan listrik yang murah dan juga terjangkau bagi para konsumen. Jika kita bicara listrik yang ekonomis pastinya kita akan bicara banyak tentang batubara. Seperti yang kita tahu, indonesia masih doyan menggantungkan diri pada sumber energi batubara dan energi fosil lainnya. Tetapi berharap pada batubara sama ibaratnya memegang akar di ujung jurang, selain ketersediaannya yang terbatas juga polusi yang dihasilkannya sangat berdampak pada kerusakan iklim dan termasuk energi yang notabene nya sumber energi yang kotor atau tidak ramah lingkungan.
Kandungan gas CO2 dan CH4 yang tinggi pada batubara membuat energi ini jelas sangat kotor dan menjadi salah satu penyebab perubahan iklim akibat efek gas rumah kaca.
Di Revolusi Industri yang semakin maju, perkembangan terjadi di semua sektor kehidupan, muncul masalah baru yaitu lingkungan yang ditandai dengan adanya isu perubahan iklim. Ini seolah teka-teki yang menjadi PR bagi negara berkembang khususnya Indonesia sendiri untuk dapat menyediakan energi listrik yang murah namun juga bersih.
Tentu energi fosil bukan lagi jawaban yang tepat. Indonesia turut menandatangani kesepakatan iklim di Paris yang berisi kesepakatan untuk menyelamatkan bumi, salah satunya dengan menyediakan energi yang bersih bagi bumi. Tentu batubara yang kini menjadi penopang energi lagi lagi tidak bisa menjawab ini, walau murah namun sudah menjadi rahasia umum bahwa batubara adalah energi yang kotor.
EBT Mahal
Sebaliknya energi bersih masih didominasi Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan biaya yangmahal. Tentu bagi Indonesia sebagai negara berkembang, belum bisa memakai sumber energi bersih yang notabenenya tidak terjangkau bagi konsumen.
Pada pemilihan energi bersih vs energi murah, undang-undang energi negara kita masih menggantungkan harga energi yang didasarkan pada "nilai ekonomi yang adil" yang terdiri dari produksi, konservasi dan biaya lingkungan, selain memastikan bahwa masyarakat dapat membeli listrik. Kebijakan pemerintah Indonesia masih duduk dan menetap pada pemikiran “tumbuh, lalu bersihkan nanti” mengikuti jejak China dan India. Terlepas dari semua trend tentang energi terbarukan, sebagian besar masih menggerakkan ekonominya dengan batubara, mengikuti pendekatan pragmatis dengan pikiran kolotnya yaitu "perbanyak pembangunan dan bersihkan kotorannya nanti".
Kondisi paradoksitas energi murah vs bersih yang demikian membawa kita pada suatu pemikiran bagaimana menciptakan sebuah alternatif energi baru khususnya kelistrikan yang murah, tetapi juga bersih. Sebagian besar orang akan sepakat jika mendengar sebuah pernyataan bahwa solusi pembangunan energi baru yang bersih adalah dengan mengembangkan banyak energi baru terbarukan (EBT), seperti panel surya, kincir angin, geothermal sampai mikrohidro.
Pertimbangan
Namun, menyebutkan energi baru terbarukan sebagai solusi paradoksitas energi murah vs bersih tampaknya harus memperhatikan beberapa hal.
Pertama, dari sisi kerapatan energi (Energy Density). Kerapatan energi (Energy Density) bisa diartikan potensi seberapa besar energi yang dapat disimpan dalam satuan luas, jika kita membutuhkan kira-kira 100MW listrik maka manakah energi yang memerlukan lahan paling banyak untuk ketersedian materialnya? Paling tidak dengan kemampuan kincir angin kita membutuhkan kurang lebih 20 hektar, apalagi jika kita menggunakan panel surya, kurang lebih kita memerlukan sekitar 100-400 hektar lahan. Hal ini tentu tidak berjalan lurus dengan konsep foot print yang seharusnya semakin kecil maka semakin kecil pula land clearing atau penebangan pohon yang dilakukan.
Kedua, potensi sumber daya yang terbatas. Ahli-ahli energi menyebutkan dalam proyeksi energi listrik Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2050 proyeksi konsumsi energi listrik Indonesia perkapita mencapai 7.000 kWh dengan proyeksi pembangkit 430 GW. Tapi kebutuhan tersebut nampaknya sangat sulit diwujudkan hanya dengan mengandalkan sumber energi baru terbarukan. Potensi pembangkit listrik tenaga mikrohidro diproyeksikan di atas kertas mencapai 75 GW, tetapi dengan kondisi yang terjadi hari ini, sungai-sungai mulai dangkal, sulitnya membuat bendungan dam serta hutan-hutan banyak yang ditebang sehingga mengurangi area resapan, nampaknya target tersebut sangat sulit diwujudkan. Kemudian ahli-ahli energi juga menyebutkan dari potensi energi geothermal 29,4 GW yang hanya bisa dimanfaatkan menjadi energi listrik tidak akan lebih dari 14 GW. Begitu pula dengan potensi angin yang tidak merata serta panas matahari yang tidak menentu membuat pengembangan solar panel dan kincir angin sebagai pembangkit energi listrik berbasis EBT untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi listrik nasional sangat sulit diwujudkan.
Ketiga, tidak membahayakan ekosistem saat beroperasi. Pembangkit listrik yang ramah lingkungan tentunya juga harus memperhatikan keseimbangan ekosistem dan keberadaan makhluk hidup lainnya. Kekhawatiran yang terjadi jika proyeksi kebutuhan listrik nasional hanya dipenuhi dengan menggunakan EBT adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang sangat besar, selain menggunakan lahan yang besar sehingga potensi penebangan hutan juga semakin besar potensi kematian makhluk hidup lainnya juga patut diperhatikan.
Dalam beberapa kasus pada tahun 2016 yang diberitakan media di Amerika serikat, di bagian utara Amerika setidaknya terdapat 140.000 - 328.000 burung di kabarkan mati akibat terkena baling kincir angin yang sedang beroperasi dan juga terkecoh oleh warna panel surya di ladang yang disangka lautan lepas.
Kemudian menurut Dr. Alec Salt seorang spesialis anatomi telinga bagian dalam dari Washington University menyebutkan frekuensi yang dihasilkan di daerah pembangkit listrik tenaga angin sangat tidak baik dan berpotensi mengalami gangguan pendengaran pada manusia jika dilakukan secara terus menerus.
0 Komentar
Berikan komentar anda