Inilah Sikap Resmi MKI Terkait Polemik Fly Ash & Bottom Ash (FABA)

Listrik Indonesia | Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) mendukung kebijakan pemerintah yang dengan tegas mengeluarkan abu terbang dan abu dasar (fly ash and bottom ash/FABA) dari sisa pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari kategori limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Berikut ini adalah sikap resmi dari MKI yang ditulis oleh Antonius Artono (pengurus MKI) terkait dengan kebijakan FABA.
Seluruh insan ketenagalistrikan tentu wajib berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah – melalui Kementrian Lingkungan Hidup, yang tegas mengeluarkan FABA dari kelompok Limbah BB (Bahan Beracun dan Berbahaya). Langkah Pemerintah untuk mengeluarkan FABA dari statusnya sebagai Limbah B3 sudah ditunggu sejak lama. Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) sebagai wadah dari seluruh pemangku kepentingan di bidang kelistrikan juga berterimakasih banyak atas Langkah maju yang dilakukan Pemerintah dan MKI juga menyatakan dukungannya atas keputusan Pemerintah tersebut.
Kriteria Penentuan Bahan B3
Tingkat racun suatu bahan ditentukan oleh sifat Kimia dari bahan tersebut. Banyak penelitian telah dilakukan di Indonesia untuk mengetahui komposisi kimia FABA dan sifat racun-nya dengan menggunakan prosedur Internacional TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) – suatu prosedur pengujian karakteristik racun dari setiap material dengan cara pencucian dimana hasil larutan yang diperoleh dilakukan 16 jenis analisa kimia atas logam berat. Selain analisa Toxic melalui TCLP, FABA juga dilakukan Uji LD50 (Lethal Dose 50). Dimana hasil uji semuanya tidak menunjukan bahwa FABA bukan bahan berbahaya dan beracun – Non Hazardous Material. Terdapat juga 35 Negara Maju di Eropa, Amerika dan Asia yang tidak memasukan FABA sebagai Limbah B3 - Hazardous Waste, serta dikategorikan sebagai Green List of Waste.
Bagaimana FABA dibentuk?
Didalam kegiatan operasi PLTU Batubara akan selalu menghasilkan abu sebagai bagian dari proses pembakaran. Abu yang keluar bagian atas Boiler disebut Abu Terbang [fly ash (FA)] yang dan abu yang keluar dari bagian bawah boiler (ruang bakar) yang disebut Abu Bawah [bottom ash (BA)], dan keduanya disingkat sebagai FABA. Beberapa teknologi Boiler untuk pembakaran batubara diantaranya adalah Pulverized Coal (PC), Circulating Fluidized Bed (CFB) dan Stocker/Chain Grade. Perbedaan ketiga jenis Boiler tersebut utamanya terletak pada temperatur pembakaran dan kecepatan udara nya. Pembakaran pada PC Boiler berada pada suhu 1200-1300 Deg C, sedangkan untuk CFB pada kisaran 800 – 870 dec C dan Stocker berada pada suhu paling rendah 650 – 700 Dec C. Batubara Indonesia rata-rata mengandung kadar abu 6 s.d 10 %. Pada akhir tahun 2020 total Kapasitas Pembangkit di Indonesia telah mencapai 71 GW, dimana 31 GW diantaranya berasal dari PLTU batubara dan setiap tahun mengkonsumsi batubara sekitar 80 Juta Ton, sehingga produksi FABA dari seluruh PLTU di Indonesia kurang lebih sebesar 4,8 s.d 8 Juta Ton/thn. Dengan jumlahnya yang besar maka FABA sangat potensial sebagai sumber bahan material yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut.
Apa sebenarnya kendala pemanfaatan FABA selama ini ?
Selama ini - FABA sebagai Limbah B3, mengalami banyak kendala mengingat seluruh rantai pasok FABA – mulai dari producer, transporter, pengangkut, penimbun, pengolah dan pemanfaat masing-masing harus memiliki ijin secara terpisah dan terbatas hanya untuk lokasi setempat. Mengingat lokasi penghasil dan pengolah tidak berada dalam lokasi yang saling berdekatan, maka menimbulkan kesulitan dalam transportasi baik kapasitas dan jenisnya. Lokasi Pemanfaat FABA pada umumnya terletak di Pulau Jawa sedangkan PLTU batubara juga banyak yang terletak di luar Pulau Jawa, sehingga memerlukan jenis angkutan Darat maupun Laut. Ketersedian dan kapasitas transportasi darat maupun laut di tiap tiap daerah, apalagi yang memiliki ijin pengangkutan, amat sangat terbatas. Kondisi demikian mengakibatkan FABA tidak dapat dimanfaatkan secara masal. Para penghasil FABA dengan terpaksa melakukan penyimpanan di ash yard di sekitar PLTU dan hanya diijinkan untuk bisa menyimpan selama satu tahun saja. Area tempat penyimpanan FABA pada setiap PLTU juga sangat terbatas. Pada umumnya PLTU memiliki kapasitas untuk menampung FABA selama 5 – 10 tahun operasi saja (dari kebutuhan operasi selama 30 tahun). Kondisi demikian membuat produsen FABA menjadi tertekan dari aspek biaya. Terlebih Produsen FABA juga masih harus membayar biaya pemusnahan karena pemanfaat menerapkan prinsip Polluter Pay. Biaya operasi pengelolaan FABA untuk tiap lokasi PLTU berbeda-beda tergantung jarak dan kesiapan infrastruktur dan transportasi. Secara umum Pengelolaan FABA meningkatkan biaya Operasi antara Rp. 46 – 75/kWh.
Kondisi FABA sebagai LB3 menghambat pemanfaatan, sehingga merugikan baik bagi Penghasil maupun bagi Industri lain yang secara teknis dan ekonomis dapat memanfaatkan untuk berbagai macam usaha. Pada banyak negara penghasil FABA tingkat pemanfaatannya sangat maju, sedangkan di Indoensia pemanfaatan FABA kurang dari 1 persen.
Apa sebenarnya manfaat FABA bagi masyarakat Indonesia ?
Sudah banyak penelitian yang dilakukan di dalam dan luar negeri terkait manfaat FABA. Negara lain penghasil FABA – termasuk Negara-negara Asia yang memiliki PLTU Batubara yang juga menggunakan batubara dari Indonesia, sudah sejak lama tidak memasukan FABA sebagai limbah B3. Sebaliknya negara-negara tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya pemanfaatan FABA sebagai sumber material bagi banyak kegiatan. Di Indonesia, selama ini pemanfaatan FABA masih sangat terbatas untuk tahap penelitian, pilot project dan atau pemanfaatan di lokasi setempat di dalam lingkungan PLTU. Salah satu penyebabnya adalah terkait dengan statusnya yang selama ini dikelompokan sebagai Limbah B3, yang menimbulkan kesan yang menakutkan bagi penggunanya.
Dengan dikeluarkannya status FABA sebagai Limbah Non B3, maka potensi pemanfaatan FABA akan dapat dilakukan secara masal untuk berbagai macam kegiatan. Adapun potensi pemanfaatan FABA antara lain untuk kegiatan Konstruksi seperti : jalan tol, pelabuhan, bandara, jembatan, pavling block, beton pra-tekan, rumah tinggal, rumah ibadah, jalan desa, sekolah, asrama TNI/Polri di daerah, rumah dinas dll. Peran FABA dalam bidang konstruksi dapat menggantikan peran semen yang selama ini dipakai untuk bahan konstruksi, sehingga juga ramah secara lingkungan dan hemat secara ekonomi. FABA juga material yang kaya sekali akan mineral, juga sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pupuk pada banyak perkebunan, pertanian dan juga perladangan.
Indonesia dapat mencontoh India yang juga memproduski FABA dalam jumlah yang 10 kali lebih banyak dari FABA di Indoensia. Dimana FABA dapat dipergunakan untuk menghidupkan UMKM di sekitar Pembangkit PLTU melalui kegiatan usaha yang bisa dilakukan oleh UMKM, BUMD, Koperasi, Kelompok Usaha di desa setempat. Sebagai Limbah Non B3, maka FABA akan memenuhi siklus Cradle to Cradle - sebuah prinsip siklus material yang mampu telusur bagi Lingkungan mulai sejak diproduksi menjadi produk lain yang bermanfaat sehingga membentuk siklus yang ramah lingkungan. Kebijakan Pemerintah untuk tidak memasukan FABA sebagai LImbah B3 menjadi penopang yang potensial dalam membangun Infrastruktur di berbagai daerah baik di kota maupun di pedesaan. FABA sebagai limbah Non B3 akan dapat diperdagangkan dengan bebas sebagaimana material konstruksi lainnya yang selama ini kita kenal. Bahkan Indonesia bisa mencontoh India yang mengekport FABA ke negara lain untuk pemanfaatan kosntruksi maupun tujuan lain.
Indonesia juga bisa mencontoh regulasi di India, dalam radius 50 km dari lokasi pembangkit kebutuhan infrastuktur untuk pedesaan dilarang menggunakan semen dan sebagai gantinya harus menggunakan FABA. Dengan demikian maka akan FABA akan banyak membantu ekonomi melalui perbaikan infrastruktur dipedesaan dimana PLTU berada. Keberadaan UMKM di sekitar PLTU akan menjadi sentral untuk memanfaatkan FABA menjadi produk lain yang bermanfaat.
Dengan demikian FABA sebagai Limbah NON B3, akan mampu menciptakan banyak lapangan kerja baru bagi kegiatan usaha disekitar sumber penghasil FABA di daerah setempat.
Dengan volume yang FABA sebesar 4,8-10 juta ton di seluruh Indoensia, maka menjadi potensi untuk bahan material yang menggantikan atau mensubstitusi peran semen untuk keperluan konstruksi dan bahkan perbaikan karakteristik hasil konstruksi.
Program Pemerintah di bidang Infrastruktur akan strategis menjadi media untuk memanfaatkan FABA secara nasional.
Bagaimana menaggulangi kekhawatiran Lingkungan Pengelolaan FABA jika Bukan LB3.
Sebagai Limbah Non B3, FABA tetap wajib memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dalam penanganannya (Handling), sama halnya dengan penanganan material konstruksi lainnya, dikemas dengan baik, menggunakan alat angkut yang tertutup sebagaimana yang selama ini sudah berlangsung. Para penghasil FABA juga wajib melaporkan Neraca FABA – daftar tonase mulai dari jumlah yang dihasilkan, disimpan maupun yang dimanfaatkan. Dengan demikian FABA keberadaannya tetap akan mampu ditelusuri dan transparan, dengan tingkat pengelolaan yang tetap dapat dijaga melalui Standard Operasi yang baik. MKI juga berperan aktif dalam memberikan masukan kepada pemerintah dan Penghasil dalam ikut menjaga agar Handling FABA dilakukan dengan baik. MKI ikut aktif mendukung pembahasan rencana Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri sebagai petunjuk pelaksanaan pengelolaan FABA sejalan dengan semangat PP 22 – 2021.
Dalam SOP akan mencakup standard pengelolaan FABA sejak dari produksi, pengangkutan internal di dalam PLTU, penyimpanan didalam PLTU, pengangkutan ke pihak external keluar dari PLTU, penyimpanan di luar PLTU dan hingga ke Pemanfaatan oleh Pihak External PLTU.
SOP juga akan memuat jenis peralatan yang harus disiapkan dan metode masing2 tahapan pada saat Handling FABA. Jenis APD yang harus dipergunakan oleh operator yang berkontak langsung dengan FABA. SOP handling FABA di setiap tahapan proses Handling akan mengatur jenis alat angkut yang boleh dipergunakan, pengaturan batasan maximum kecepatan kendaraan di dalam PLTU, maximum kapasitas loading, persyaratan dan fasilitas yang diperlukan untuk penyimpanan, pemantauan tingkat kebersihan, frekwensi & cara pemantauan, dan bahkan disusun SOP bila terjadi kondisi darurat jika terjadi gangguan kondisi alam seperti cuaca.
Di dalam SOP juga akan mengatur system pelaporan, bentuk pelaporan, frekwensi pelaporan dan pihak-pihak yang mendapatkan laporan.
Penutup
Dengan demikian adalah tanggung jawab seluruh stake Holder untuk turut mengawal pengelolaan FABA sehingga memberikan manfaat secara Nasional dan sejalan dengan semangat FABA sebagai limbah Non B3 sebagaimana tertuang dalam PP 22 - 2021, tetapi juga sejalan dengan itu Handling FABA juga harus dilakukan dengan baik oleh Penghasil, Pengangkut dan Pemanfaat FABA.
0 Komentar
Berikan komentar anda