KELANGKAAN SOLAR: Pertamina Patra Niaga Hanya Pelaksana, Pemerintah Sebagai Penentu

LISTRIK INDONESIA | Setiap menjelang akhir tahun, banyak berita di media online dan media sosial tentang isu kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) terutama Solar dan liquified petroleum gas (LPG). Rutin terjadi setiap setiap tahun, terutama di periode akhir tahun, Oktober - Desember dan biasanya sampai pada awal tahun (Januari).
Hal tersebut sudah mahfum. Sebetulnya isu kelangkaan solar dan LPG terjadi sepanjang tahun, hanya saja volume beritanya relatif rendah, kemudian volume berita naik signifikan pada akhir tahun.
Judul-judul berita, seperti antrean truk mengular, nelayan tidak dapat melaut, ibu rumah tangga mengeluh sulit mendapatkan tabung melon, sopir truk protes, pengusaha logistik tertekan akibat langkanya solar, dan lainnya. Kemudian, muncul respons reaktif dari pemerintah maupun PT Pertamina (Persero) yang kian diramaikan opini-opini dari para pakar, pengamat, dan mungkin akademisi serta asosiasi pengusaha. Setelah periode Januari atau Februari, isu ini kembali mereda.
Kenapa harus ramai di akhir tahun? Atau kenapa harus selalu ada isu-isu tentang kelangkaan Solar dan LPG 3 kg? Jawabannya hanya satu, karena barang subsidi. Barang subsidi yang kuotanya tentu sudah ditetapkan. Penduduk Indonesia sekitar 274 juta orang atau sekitar 70 juta rumah tangga. Demikian juga dengan kuota Solar subsidi yang dibatasi.
Harga minyak mentah naik dari kisaran US$40 per barel pada akhir 2020 kini menjadi lebih dari US$80 per barel, naik hampir 100%. Hal ini tentu memengaruhi harga BBM, termasuk solar. Belum lagi lonjakan harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) mencapai 66% (year to date/ytd). Terjadi kenaikan biaya pengadaan Solar. Sementara itu, pemerintah masih tetap menggunakan harga jual Solar Rp5.150 per liter. Apa yang terjadi, selisihnya harus ditanggung oleh Pertamina, kecuali jika pemerintah dengan baik hati menambah kompensasi atas selisih tersebut.
Kemudian, BPH Migas juga telah menetapkan kuota pendistribusian Solar yang disesuaikan dengan anggaran subsidi dari APBN.
Sebagai badan usaha yang menerima penugasan dari pemerintah dalam menyalurkan BBM, termasuk BBM bersubsidi yaituSolar atau Jenis BBM Tertentu (JBT), Pertamina terus mendorong agar penyaluran dapat tepat sasaran sesuai peruntukannya. Hal tersebut dijalankan melalui berbagai edukasi dan aktivitas yang dijalankan kepada masyarakat maupun konsumen. Edukasi itu dengan menginfromasikan kepada publik bawah Solar kurang ramah lingkungan dan berdampak tidak bagus terhadap performa mesin. Berbeda dengan Dexlite dan Pertadex yang memiliki cetane number lebih tinggi sehingga mengurangi polusi sekaligus meningkatkan performa mesin kendaraan.
Berbagai ahli seringkali menyampaikan bahwa subsidi barang memiliki banyak celah, misalnya tidak tepat sasaran. Berbeda dengan subsidi orang atau penerima. Misalnya ada 10 juta penerima subsidi solar dan dananya diberikan kepada penerima tersebut, sedangkan harga BBM mengikuti harga pasar. Subsidi barang seperti pupuk bersubsidi, BBM bersubsidi seringkali menyisakan berbagai persoalan yang tidak pernah usai.
Perilaku konsumen yang sangat normal adalah mencari harga yang lebih murah. Ketika harga Solar lebih murah dibandingkan dengan Dexlite dan Pertadex, maka orang akan memburu Solar. Hukum pasar yang sangat alamiah. Kemudian Pemerintah dan pemerintah seharusnya mengantisipasi agar tepat sasaran atau skema subsidi terutup sehingga mampu meminimalisir bocornya barang subsidi itu dan kuota yang telah ditetapkan sesuai dengan data penerima.
Harga Dexlite sekitar Rp9.500 per liter, sedangkan harga Biosolar (B30) bersubsidi Rp5.150 per liter, memiliki selisih yang sangat besar. Tujuan pemerintah agar logistik kian berdaya saing, tidak membebani pelaku usaha transportasi, termasuk nelayan, dan lainnya. Namun, model seperti ini seringkali menjadi permasalahan bersama.
Apakah terjadi kelangkaan Solar? Iya. Faktanya begitu. Apakah Solar bersubsidi tidak ada? Iya. Pasalnya, kuota yang ditetapkan BPH Migas sudah akan terealisasi 100%. Namun, gasoil series lainnya tetap tersedia dengan aman, misalnya Dexlite dan Pertadexlite.
Pengawasan pun akan sulit dan membutuhkan SDM pengawasan yang sangat banyak mengingat jumlah SPBU sangat banyak dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Artinya akan menambah biaya pengawasan. Oleh karena itu, skema dan formula yang tepat seharusnya bisa meminimalisir bocornya barang subsidi, bukan justru menambah pengawas yang akan memicu biaya baru sehingga tidak efisien.
Pihak Pertamina mengklaim tidak ada kekurangan suplai Solar. Fakta di lapangan terlihat berbeda, para kendaraan logistik sulit mengakses Solar. Seluruh pemangku kebijakan harus duduk bersama untuk membuat formula kebijakan komprehensif, tidak parsial sehingga persoalan rutin seperti ini tidak terjadi lagi.
0 Komentar
Berikan komentar anda