NEWS Association PROFILE
Trending

Ketidakjelasan Implementasi Regulasi, Pengembangan Energi Surya Butuh Langkah Konkrit Presiden Jokowi  

Ketidakjelasan Implementasi Regulasi, Pengembangan Energi Surya Butuh Langkah Konkrit Presiden Jokowi  
Dok. Listrik Indonesia

 

Listrik Indonesia | Untuk mengejar target energi terbarukan 23% tahun 2025, pemerintah Indonesia menjadikan energi surya sebagai salah satu sumber energi prioritas dan strategis, termasuk target PLTS Atap hingga 3,6 GW sampai 2025. Namun, Indonesia harus segera menggenjot upaya pengembangan energi surya secara besar-besaran untuk mengejar defisit kapasitas energi terbarukan sejak diundangkannya Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

 

Berdasarkan capaian sektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi Kementerian ESDM, instalasi PLTS di Indonesia (skala besar dan atap) pada tahun 2022 baru mencapai 276,1 MW – jauh dari target tahun 2025, dan energi terbarukan pada bauran energi primer masih di kisaran 12%.

 

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, mengatakan, energi surya fotovoltaik atau PLTS sebenarnya mampu menjadi tulang punggung bauran energi terbarukan, tidak hanya sampai 2025 melainkan juga untuk target net-zero emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat. ”Sayangnya pengembangan PLTS skala besar di Indonesia masih belum terlihat dan PLTS atap juga terhambat karena Permen ESDM No. 26/2021 tidak diimplementasikan, termasuk adanya pembatasan kapasitas dan upaya mempersulit perizinan PLTS Atap yang dilakukan PLN,” jelas Fabby,  dalam media briefing beberapa asosiasi terkait energi surya di Indonesia, di Des Indes Hotel, Jakarta, Selasa (21/3).

 

Fabby menambahkan, PLTS skala besar di Indonesia sulit berkembang karena tidak adanya perencanaan jangka panjang di sistem ketenagalistrikan sebelum RUPTL 2021 – 2030. “proses lelang yang kurang konsisten dan kurang kompetitif, skala keekonomian yang sulit tercapai karena lelang tersebar dan dalam skala kurang dari 20 MW, hingga aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tidak didukung kesiapan industri dalam negeri,” tegas Fabby.

 

Sejak awal tahun 2022, terjadi pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% yang diterapkan pada berbagai pelanggan, mulai dari residensial (rumah tangga) hingga industri. Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 yang mengizinkan hingga maksimum 100% daya listrik terpasang. Adanya pembatasan ini menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap. Setelah mencatatkan pertumbuhan yang cukup signifikan sejak 2018 – saat peraturan menteri pertama tentang PLTS atap dikeluarkan (Permen ESDM No. 49/2018), di tahun 2022 pertumbuhan pengguna PLTS atap dan kapasitas terpasangnya tidak setinggi 5 tahun sebelumnya.
 

 


Seruan Kepada Presiden Jokowi

 

Hal senada disampaikan Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI), bahwa kendala dalam meningkatkan kapasitas PLTS atap, baik karena kebijakan atau implementasi yang kurang mendukung, sangat berpengaruh terhadap lapangan pekerjaan bagi industri energi surya yang tumbuh. Ini merupakan implikasi dari banyaknya proyek pemasangan PLTS atap yang tertunda sejak tahun lalu karena ketidakjelasan implementasi aturan, sehingga pekerjaan hijau (green jobs) di sektor ini juga berpotensi hilang.

 

Muhammad Firmansyah, Bendahara Umum PERPLATSI, menyatakan, industri energi surya di Indonesia sedang tidak baik - baik saja, ini dialami oleh banyak perusahaan pemasang PLTS atap (EPC), tidak hanya anggota PERPLATSI saja. Banyak perusahaan EPC yang harus berhenti menjalankan usaha, karena sejak Permen ESDM No. 26/2021 muncul dan tidak dilaksanakan sepenuhnya, pemasangan menjadi tertunda dan bahkan batal.

 

“PERPLATSI juga menolak draft rencana revisi Permen ESDM No. 26/2021 dalam hal peniadaan ekspor dan impor listrik dari pengguna PLTS, serta diperlukannya pertimbangan matang untuk sistem kuota per daerah,” Firmansyah.

 

Erlangga Bayu mewakili Asosiasi PLTS Atap (APSA) Bali menerangkan, di Bali sendiri sangat banyak kendala, contohnya PLTS yang sudah terpasang hanya disetujui oleh PLN sebagian. Sistem PLTS atap yang sudah terpasang menjadi tidak bisa digunakan sebagian, padahal masyarakat memasang sesuai Permen ESDM 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan.

 

“Banyak juga masyarakat yang bahkan sudah membayar DP (down payment) untuk pasang PLTS atap namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut. Padahal masyarakat memasang PLTS atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan. Hal ini merupakan kontribusi nyata gotong royong untuk pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca,” ujar Erlangga.

 

Dia menambahkan, bagi perusahaan PLTS yang masih skala kecil seperti kami ini sangat berdampak, karena klien tidak mau melunasi pembayaran sampai PLN memasang meteran ekspor impor, bahkan ada perusahaan yang sampai mem-PHK karyawan. “PERPLATSI dan APSA Bali juga sudah berusaha melakukan advokasi langsung dengan berkirim surat ke Gubernur, DPR, DPD, hingga Kementerian ESDM; namun belum ada perubahan yang signifikan,” ucap Erlangga.

 

Yohanes Sumaryo, Ketua Umum Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) menyoroti perubahan perilaku pengguna PLTS atap. “Beberapa dari kami mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban,” kata Yohanes.

 

Menurut Yohanes, sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal. “Meski demikian, Permen ESDM No. 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya,” terang dia.

 

Dalam kesempatan yang sama, Linus Sijabat, Ketua Umum Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) menyebutkan bahwa hingga saat ini, hanya 5% utilisasi produk dari anggota APAMSI yang digunakan di Indonesia. “Persoalan TKDN untuk modul surya dan komponen pendukung lain bukan hanya persoalan ayam dan telur, melainkan juga adanya regulasi yang mendukung dan implementasinya yang konsisten dan serius,” ucap Linus.

 

Selain itu, menurut dia, APAMSI juga memiliki aspirasi adanya dukungan investasi dari pemerintah dan dukungan pembiayaan dari perbankan dan lembaga finansial untuk menggenjot industri modul surya dalam negeri yang bisa kompetitif dengan produk yang tersedia di pasaran.

 

“Sejak tahun 2013, APAMSI telah mengupayakan investasi dalam jumlah besar untuk memajukan industri modul surya dalam negeri namun belum berhasil karena captive dan demand dari energi surya di Indonesia belum terlihat jelas,” tegas Linus.

 

Menyikapi berbagai kendala sekaligus untuk menghidupkan industri energi surya dalam negeri, AESI, APAMSI, PERPLATSI, PPLSA, dan APSA Bali menyerukan pada Presiden Indonesia untuk mengambil langkah konkrit yang suportif dan menegaskan perlunya dukungan serius, segera, dan sistematis (3S) dari pemerintah, pelaku usaha, asosiasi, lembaga pembiayaan, hingga masyarakat luas. (*)

 

 


Related Articles

0 Komentar

Berikan komentar anda

Back to top button