
Ilustrasi
Listrik Indonesia | Belum lama ini Forbes, sebuah majalah bisnis, merilis daftar 2.000 perusahaan publik terbesar dunia pada 2021 atau Global 2.000 World's Largest Public Company.
Di daftar itu ada tiga perusahaan Indonesia dan semuanya merupakan BUMN. Ketiganya adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Tentu prestasi luar biasa untuk ketiga korporasi pelat merah itu.
Penilaian Forbes itu berdasarkan analisis empat faktor, yaitu laba, nilai penjualan, aset, dan nilai pasar (market cap). Artinya, BRI, BNI, dan Telkom menjadi perusahaan asal Indonesia dengan kinerja terbaik sepanjang 2020.
Adapun, peringkat pertama adalah Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) dengan aset pada 2020 US$4.914,7 miliar atau setara dengan Rp71.263 triliun (asumsi Rp14.500 per US$). Sangat besar asetnya. Seluruh aset BUMN di Indonesia seperti PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), perbankan, dan lainnya hanya Rp9.295 triliun, jauh sekali hanya dibandingkan dengan satu BUMN milik China. Laba ICBC pada 2020 US$45,8 miliar setara dengan Rp664 triliun.
Saham ICBC tercatat di Bursa Shanghai dan Hong Kong. Public listed company ini menjadi bank terbesar di planet bumi, mengalahkan Citigroup.
Hal itu hanya sebagai gambaran saja bahwa perusahaan-perusahaan yang bisa eksis di kancah global, seperti Telkom, BNI, BRI merupakan perusahaan publik yang sudah melantai di bursa saham. Seharusnya Indonesia berpeluang memunculkan perusahaan-perusahaan raksasa (terutama BUMN) yang tersohor di kancah global. Apa alasannya, market kita besar, pendapatan per kapita terus bertumbuh, perekonomian terus tumbuh, dan pertumbuhan kelompok ekonomi menengah yang akan meningkatkan daya beli. Sekitar 60% pasar Asean ada di Indonesia. Saya membayangkan RI memiliki raksasa energi dan agribisnis, bank, telekomunikasi terbesar di tingkat global.
Bagaimana cara menjadi yang terhebat di kancah global? Salah satunya melalui penghimpunan dana dari publik melalui pelepasan saham perdana (initial public offering/IPO). Kenapa IPO? Karena untuk mendapatkan dana murah yang akan dijadikan sebagai modal untuk ekspansi. Dibandingkan dengan menerbitkan surat utang (obligasi) atau pinjaman ke bank yang tentu akan terbatas dan harus menanggung bunga.
Ketika perusahaan Anda banyak dilirik orang untuk ikut memiliki sahamnya, artinya perusahaan Anda ibarat gadis cantik. Sebaliknya, ketika perusahaan Anda tidak diminati publik, maka sulit untuk menghimpun dana murah. Ketika memiliki kesempatan posisi perusahaan Anda sedang diminati pasar, maka tidak ada salahnya untuk melantai di bursa untuk menggaet investor dan mendapatkan dana besar untuk melakukan ekspansi. Bahkan, dana itu bisa digunakan untuk menutup utang yang selama ini telah melilit perusahaan dalam membayar bunga yang tidak kecil.
Ketika ada yang mengatakan kalau BUMN di IPO, maka akan terjadi komersialisasi, tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat dan berbagai alasan yang 'lebay' lainnya. Silakan berkaca pada ICBC, bank terbesar di muka bumi yang mencatatkan sahamnya di bursa, silakan berkaca pada Saudi Aramco. Ternyata bukan soal bentuknya perusahaan terbuka (Tbk) atau perusahaan tertutup, tetapi lebih kepada ketegasan dan kebijakan pemerintah dalam berpihak kepada rakyatnya.
Rencana IPO PT Pertamina Geothermal Energy, bagian dari subholding Pertamina New Renewable Energy (Pertamina NRE), bakal menuai pro dan kontra. Akan banyak bermunculan pengamat baru yang sok-sok an menolak tanpa mengetahui untung dan ruginya. (Bersambung ke Bagian II)
0 Komentar
Berikan komentar anda