Business CORPORATION
Trending

Menakar IPO PT Pertamina Geothermal Energy (Bagian III)

Menakar IPO PT Pertamina Geothermal Energy (Bagian III)
Ilustrasi

Listrik Indonesia | Pembentukan Holding BUMN Geothermal bertujuan untuk mempercepat pemanfaatan sumber panas bumi di Tanah Air. Pasalnya, hingga saat ini pemanfaatan geothermal masih sangat rendah, yaitu 8%.

Padahal, energi panas bumi memiliki kelebihan dibandingkan dengan energi terbarukan jenis lainnya. Uap panas bumi yang dibor dari perut bumi digunakan untuk memutar turbin, kemudian uap panas bumi itu dimasukkan kembali ke dalam tanah untuk menjaga suhu uap tetap panas.

Suplai uap panas juga relatif stabil, tidak bersifat intermittency seperti halnya tenaga surya dan tenaga hidro atau tenaga angin (bayu). Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sangat bergantung dengan debit air, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) juga bergantung pada kecepatan angin, demikian juga dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sangat bergantung pada intensitas atau radiasi panas matahari.

Kemudian, Indonesia juga memiliki potensi sumber panas bumi (geothermal) terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Potensi geothermal Indonesia mencapai 23.900 megawatt (MW). Namun, potensi besar itu baru dimanfaatkan sebesar 8% atausebesar 2.130,7 MW.

Pertanyaannya, kenapa sampai saat ini pemanfaatan geothermal itu masih relatif rendah? Banyak faktor yang menyebabkan pengembangan panas bumi menghadapi jalan terjal dan berliku.

Bagi investor dan penggusaha, tanpa disuruh pun pasti akan mengerjakan suatu pekerjaan yang sudah dipastikan mendapatkan profit. Ibarat pepatah mengatakan “ada gula, ada semut’. Demikian juga dengan panas bumi, jika dari sisi bisnis sangat menguntungkan, potensi 23.900 MW sudah dibor sejak lama, tanpa menunggu perintah dari pemerintah.

Artinya, ada sesuatu yang salah, setidaknya ada ganjalan atau tantangan di sektor geothermal sehingga belum bisa dioptimalkan sampai saat ini.

Prinsip investor dan pengusaha itu sederhana, asal ada margin kendati kecil, mereka pasti sangat tertarik untuk masuk ke sektor itu. Berarti geothermal tidak memiliki margin? Dengan kondisi saat ini, geothermal masih kurang menarik.

Dari sisi regulasi belum terlalu mendukung pengembangan geothermal. Kebijakan tariff listrik dari PLTP masih relative rendah, sehingga sulit untuk mendapatkan return of investment (RoI). Pengembang pasti akan memperhitungkan RoI. Jika PT (PLN) membeli listrik dari PLTP dengan harga menarik (sesuai dengan skala keekonomian), maka investor akan tertarik untuk menggarap panas bumi. Namun, PLN juga berhitung dengan tarif listrik yang akan dikenakan kepada pelanggannya.

Setelah tarif dinaikkan, apakah pemanfaatkan geothermal secara otomatis akan naik pesat? Belum tentu. Geothermal memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh pembangkit hijau jenis lainnya, yaitu harus melalui tahap eksplorasi, yaitu pengeboran eksplorasi untuk mengetahui cadangan uap panas di suatu wilayah.

Tahap eksplorasi ini seperti berjudi (gambling). Jika investor melakukan pengeboran eksplorasi, kemudian tidak ditemukan panas bumi atau potensi uapnya terlalu kecil, maka tidak berlanjut ke tahap konstruksi pembangkit. Investor kehilangan dana untuk eksplorasi. Hangus dananya.

Geothermal ini mirip dengan industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Harus melakukan tahap eksplorasi. Untuk menghindari risiko dana yang menguap percuma itu, maka pemerintah bisa melakukan eksplorasi panas bumi (government drilling). Artinya, dana eksplorasi ditanggung oleh pemerintah. Ketika pemerintah melakukan eksplorasi panas bumi, kemudian ditemukan cadangan yang ekonomis, maka baru diserahkan kepada investor/pengembang. Melalui government dirlling itu, risiko eksplorasi tidak ditanggung oleh pengusaha.

Pertanyaan berikutnya, setelah adanya skema government drilling, apakah pengembangan geothermal otomatis akan berjalan cepat? Belum tentu juga. Ada faktor kesiapan sistem/jaringan listrik di wilayah kerja panas bumi. Kemudian, ada kebutuhan tambahan suplai listrik di sekitar wilayah kerja panas bumi tersebut. Sebagai contoh, di suatu wilayah di NTT memiliki potensi panas bumi yang cukup besar, tetapi kebutuhan listrik di daerah tersebut masih sangat rendah, maka pengembangan panas bumi belum bisa dilakukan. Harus menunggu naiknya konsumsi listrik di wilayah itu.

Kekayaan atau sumber panas bumi tidak bisa memilih lokasi. Ini adalah anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri, tidak bisa lagi mengeluh lokasinya yang berada di wilayah remote. Justru manusia yang harus membuat strategi untuk memanfaatkan anugerah dari Tuhan tersebut. Bisa dikatakan ada seribu alasan kenapa pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih rendah.

Butuh Holding

Seribu alasan membuat pengembangan panas bumi sulit berjalan cepat. Di sisi lain, ada 3 BUMN yang selama ini fokus dalam pengembangan panas bumi. Namun, ketiga BUMN itu masih berjalan sendiri-sendiri. Jika ketiga BUMN itu dikonsolidasikan dan disinergikan mungkin akan menghasilkan daya ledak yang lebih dashsyat. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran perlu dibentuknya Holding BUMN Geothermal.

PT Pertamina Geothermal Energy, PT Geo Dipa Energi, dan PT PLN (Persero) melalui anak-anak usahanya seperti PT PLN GG dan PT Indonesia Power.

PGE memiliki beberapa anak usaha yang mengoperasikan PLTP. Saat ini PGE mengelola 14 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan total kapasitas terpasang 672 MW (own operation) dan 1.205 MW (joint operation contract). Kapasitas PLTP 672 MW (own operation) dibangkitkan dari 6 area, yaitu Kamojang 235 MW (Jawa Barat), Lahendong 120 MW (Sulawesi Utara), Ulubelu 220 MW (Lampung), Sibayak 12 MW (Sumatera Utara), Karaha 30 MW (Jawa Barat), dan Lumut Balai 55 MW di (Sumatera Selatan).

Adapun, total kapasitas PLTP yang dikelola oleh PLN sebesar 1.020 MW, yang terdiri atas dua skema pengembangan PLTP PLN. Pertama, dari sisi hulu. PLN membeli uap dari pemilik wilayah kerja panas bumi (WKP) dan membangkitkan listrik dengan membangun dan mengoperasikan pembangkit dengan total kapasitas 670 MW. PLTP yang masuk dalam skema ini adalah 6 WKP PT Pertamina (Persero), yaitu Kamojang kapasitas 150 MW di Jawa Barat, Lahendong 80 MW di Sulawesi Utara, Salak 80 55 MW di Jawa Barat, Darajat 165 MW di Jawa Barat, Ulubelu 110 MW di Sumatera Selatan, dan Hululais 110 MW di Bengkulu.

Kedua, dari sisi hulu dan hilir. Sesuai dengan jumlah penugasan WKP, yaitu 11 WKP dengan total kapasitas 370 MW. Salah satu di antaranya yakni WKP Ulumbu Unit 1 – 4 telah COD di 2011 dengan total kapasitas 10 MW.

Satu WKP PLN yaitu PLTP Ulumbu Unit 1 – 4 sebesar 10 MW telah beroperasi komersial untuk melistriki sistem Flores. Adanya potensi pengembangan di area tersebut mencapai 20 MW yang saat ini dalam tahap pengembangan termasuk di lokasi Mataloko.

PLN juga ditugaskan untuk mengembangkan WKP lainnya yang tersebar total sebesar 370 MW, yang saat ini menuju proses eksplorasi, a.l persiapan pengeboran eksplorasi dan beberapa masih proses Pra Studi Kelayakan (survei permukaan), yaitu WKP Tulehu, WKP Ulumbu, WKP Mataloko, WKP Atadei, WKP Songa Wayau, WKP Tangkuban Parahu, Ungaran, Kepahiang, Oka Ile Ange, Sirung, Danau Ranau.

Sementara itu, BUMN di bawah Kementerian Keuangan, PT Geo Dipa Energi (Persero) memiliki PLTP Patuha berkapasitas 60 MW dan PLTP Dieng berkapasitas 60 MW. Selain itu, Geo Dipa agresif ekspansi geothermal. Geo Dipa sedang mengembangkan PLTP Patuha Unit 2&3 serta PLTP Dieng Unit 2&3 yang membutuhkan dana investasi sangat besar, yaitu mencapai sekitar Rp10 triliun.

Wacana IPO PGE dan pembentukan Holding BUMN Geothermal melalui konsolidasi aset BUMN yang selama ini mengembangkan panas bumi tentu menjadi sebuah kekuatan luar biasa untuk menjadi state owned enterprised (SOE) raksasa dan terbesar di dunia yang fokus mengembangkan panas bumi. Hal ini tentu menjadi portofolio sekaligus menjadi branding Indonesia di energi bersih dan yang lebih penting dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Related Articles

0 Komentar

Berikan komentar anda

Back to top button