
"Agar pemanfaatan tersebut meningkat, berbagai hal perlu dilakukan, termasuk mendukung pemerintah dalam memperbaiki dan menjalankan kebijakan, regulasi dan program yang sesuai konstitusi, sehingga target pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dapat dicapai," tegasnya.
Marwan juga mengingatkan bahwa salah satu aspek penting yang diamanatkan konstitusi, UUD 1945, dalam pemanfaatan sumber daya alam Indonesia adalah tentang penguasaan negara, dimana aspek pengelolaannya harus berada di tangan BUMN.
"Saat ini ketiga BUMN yang mengelola sumber daya panas bumi kita, yakni Pertamina Geothermal Energi (PGE), Geo Dipa Energi (GDE) dan PLN Geothermal, hanya menguasai sekitar 38,2% produksi PLTP nasional. Sisanya dikelola oleh perusahaan swasta nasional dan asing. Hal ini tentu masih jauh dari kondisi ideal konstitusional yang didambakan guna meningkatkan penerimaan negara dan menjamin ketahanan energi nasional. Untuk itu perlu dilakukan advokasi yang berkelanjutan," ungkapnya.
Marwan menyatakan bahwa buku tersebut juga dimaksudkan untuk mengadvokasi hal yang terkait dengan aspek kearifan lokal. Sudah cukup sering terjadi, bahwa rakyat suatu daerah luput dari perhatian pemerintah untuk ikut menikmati eksploitasi sumber energi di daerahnya. Hal ini tidak boleh terulang pada sektor energi panas bumi.
"Masyarakat sekitar PLTP, bukan saja harus ikut menikmati energi yang dihasilkan, tetapi juga harus dilibatkan dalam setiap kesempatan memperoleh manfaat ekonomi-bisnis, sosial-budaya dan lingkungan, termasuk juga dalam mempertahankan dan meningkatkan berbagai aspek kearifan lokal," tegasnya.
Sementara itu Donny Yoesgiantoro dari Universitas Pertahanan menyatakan bahwa ketahanan energi merupakan bagian dari ketahanan ekonomi dan ketahanan ekonomi adalah bagian dari ketahanan nasional.
"Jika ketahanan energi baik dan meningkat, maka ketahanan nasional juga akan membaik dan meningkat. Oleh sebab itu ketersediaan energi nasional harus terus dibangun dan ditingkatkan, salah satunya melalui pengembangan energi ramah lingkungan seperti pembangkit listrik panas bumi (PLTP)," kata Donny.
Dalam hal ini Donny juga mengingatkan pentingnya menyiapkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait pelayanan listrik, anggaran subsidi listrik, subsidi listrik tepat sasaran, permasalahan lingkungan, dan lain-lain.
Sedangkan Reyly Pinasang dari Pemda Maluku Utara memaparkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait listrik panas bumi, penerimaan daerah dari eksploitasi panas bumi dan keterlibatan daerah dalam menjelaskan pentingnya pembangunan PLTP kepada masyarakat. Pada tahap perencanaan PLTP di Lahendong, PGE dan Pemda Sulawesi Utara mendapat cukup banyak penolakan dari masyarakat sekitar wilayah kerja (WK) PLTP Lahendong. Namun hal tersebut dapat diatasi berkat kerja sama berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/PGE dan sejumlah universitas dari Sulawesi dan Jawa.
Pembicara lain, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumelar menyebutkan generasi milenial perlu sadar dan memahami tentang isu energi.
"Milenial harus paham, kapan energi fosil itu habis. Sebab kita selalu membutuhkan energi di mana pun, kebutuhan kita atas energi setiap tahun meningkat sekitar 4 persen", kata Arie.
Oleh sebab itu Indonesia harus menyiapkan tambahan pasokan energi dan substitusi energi fosil dengan mengembangkan EBT, antara lain berupa tenaga air, angin, sinar
matahari, panas bumi, bahan bakar nabati (BBN) dll. Sebagai negara pemilik cadangan panas bumi terbesar di dunia, kita harus segera mengembangkan energi panas bumi melalui pembangunan PLTP di berbagai lokasi di Indonesia, kata Arie.
Ketua SP PGE Bagus Bramantio mengatakan bahwa listrik PLTP tersedia sepanjang tahun, tidak tergantung perubahan musim dan ramah lingkungan karena hampir tidak menghasilkan CO2 dalam proses pemanfaatan tenaga panas bumi menjadi energi listrik.
Pada saat perencanaan dan pembangunan PLTP Lahendong di Sulawesi Utara, Bagus menceritakan bahwa berbagai proses uji kelayakan amdal, teknis, operasi, ekonomi dan sosial-politik telah dilalui dengan baik dan seksama, dengan melibatkan Bank Dunia dan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Disampaikan PLTP Lahendong saat ini menghasilkan listrik berkapasitas 120 Mega Watt, di mana seluruh pengoperasiaannya dilakukan oleh orang Indonesia.
Pengamat Energi Ugan Gandar mengajak mahasiswa untuk peduli dan terlibat aktif dalam proses pengembangan, penyediaan dan pencapaian kemandirian dan kedaulatan energi nasional.
Ugan mengingatkan sejak lahirnya UU No.22/2001 tentang Migas pengelolaan migas
nasional menjadi liberal dan cenderung dikendalikan oleh para kapitalis. Pertamina sebagai BUMN energi yang menurut konstitusi seharusnya diberikan hak penuh mengelola migas dari hulu hingga hilir. Namun hal ini nyatanya hingga saat ini sulit terwujud.
"Beberapa blok migas diberikan hak pengelolaannya kepada asing dan ketika konsesi habis, Pertamina disetarakan dengan swasta/asing. Hanya sebagian kecil blok migas yang dikembalikan ke Pertamina namun dengan syarat harus memberikan komitmen signature bonus kepada pemerintah. Artinya sama saja Pertamina disejajarkan dengan perusahaan swasta atau asing," pungkasnya. (RA)
0 Komentar
Berikan komentar anda