PLTN di Zona Ring of Fire: Mengatasi Tantangan Seismik dan Menjamin Keselamatan Energi Nuklir

PLTN di Zona Ring of Fire: Mengatasi Tantangan Seismik dan Menjamin Keselamatan Energi Nuklir
Dok. Istimewa

Listrik Indonesia | Kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi geografis Indonesia yang terletak di dalam zona Ring of Fire sering kali muncul ketika rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dicanangkan. Zona yang membentang dari Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatera, terus ke Himalaya, Mediterania dan berujung di Samudra Atlantik ini membuat kawasan di dalamnya, termasuk Indonesia sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi. Masyarakat merasa khawatir jika terjadi gempa bumi yang besar akan menyebabkan PLTN mengalami kendala atau bahkan mengalami kecelakaan.

 

Lantas, apakah PLTN tidak dapat dibangun di wilayah yang rawan gempa? Menurut World Nuclear Association, sekitar 20% dari total PLTN di seluruh dunia beroperasi di daerah yang mengalami aktivitas seismik signifikan atau zona bahaya gempa. Konsekuensinya, PLTN dirancang sedemikian rupa sehingga gempa bumi dan peristiwa eksternal lainnya tidak akan membahayakan keselamatan pembangkit.

 

Sebagai contoh, di negara seperti Prancis, PLTN didesain untuk mampu bertahan dari gempa bumi dengan kekuatan dua kali lipat dari peristiwa gempa selama 1.000 tahun yang diestimasi untuk setiap lokasi PLTN. Contoh lain yang menarik adalah Jepang, yang juga berada dalam zona Ring of Fire, memiliki total 33 unit reaktor nuklir yang tersebar di berbagai wilayahnya. Bahkan, beberapa PLTN di Jepang dibangun di lokasi dengan tingkat aktivitas seismik yang tinggi.

 

Agnafan JF, Pengamat Energi dari Indonesia Nuclear Youth Society, mengatakan, penting bagi kita untuk memahami bahwa pemerintah dan pihak terkait dalam rencana pembangunan PLTN di Indonesia telah mempertimbangkan kondisi geologis negara ini dengan sangat serius. “Sebelum memilih lokasi pembangunan PLTN, dilakukan studi dan evaluasi yang mendalam mengenai potensi bahaya gempa bumi dan letusan gunung berapi di daerah tersebut,” ujar Agnafan, melalui keterangan resminya, Rabu (5/7/2023).

 

Teknologi Keselamatan PLN

 

Di Indonesia, lanjut dai, terdapat beberapa daerah yang memiliki tingkat aktivitas gempa yang relatif rendah, seperti Pulau Kalimantan dan wilayah sebelah timur Pulau Sumatera. Tingkat kegempaan ini biasanya diukur dengan menggunakan PGA (Peak Ground Acceleration).

 

“Semakin tinggi nilai PGA, semakin besar akselerasi horizontal yang terjadi, yang berarti semakin besar kekuatan yang diberikan oleh gempa dan potensi kerusakan yang terjadi. Informasi mengenai sebaran nilai PGA ini dapat ditemukan dalam peta zonasi gempa di Indonesia,” ujar Agnafan.

 

Dia menambahkan, proses perencanaan dan pembangunan PLTN di Indonesia juga melibatkan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang memiliki wewenang dalam memberikan izin. BAPETEN memiliki peraturan yang mengatur semua hal terkait dengan pembangunan PLTN, termasuk aspek kegempaan yang diatur secara rinci dalam Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 8 Tahun 2013 tentang Evaluasi Tapak Instalasi Nuklir untuk Aspek Kegempaan.

 

“Sebelum sebuah PLTN diperbolehkan untuk dibangun, regulator bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua aspek keselamatan yang telah ditentukan, termasuk aspek kegempaan, telah memenuhi standar yang ditetapkan,” jelasnya.

 

Selain itu, perlu dipahami bahwa PLTN modern didesain dengan menggunakan teknologi yang teruji dan mengikuti standar keselamatan yang sangat ketat. Ketika terjadi gempa (dengan kekuatan tertentu), PLTN akan secara otomatis dimatikan atau berhenti beroperasi. Dalam proses perancangan PLTN, digunakan metode yang dikenal sebagai Probabilistic Seismic Hazard Analysis untuk memastikan bahwa pembangkit tersebut dapat bertahan dari gempa dengan kekuatan di atas magnitudo terkuat yang pernah terjadi di lokasi tersebut.

 

Bukti ketatnya kriteria desain seismik pada PLTN dapat dilihat dari beberapa gempa besar yang terjadi di Jepang. Misalnya, gempa dengan magnitudo 7,2 di Kobe pada tahun 1995 tidak menyebabkan kerusakan pada reaktor yang berada dalam radius 200 km dari pusat gempa, seperti PLTN Takahama dan Ohi yang berjarak 130 km dari pusat gempa, serta PLTN Mihama yang berjarak 180 km.

 

Selain itu, pada tahun 2005, tiga reaktor di Onagawa berhasil mati secara otomatis ketika terjadi gempa berkekuatan 7,2 di timur laut Honshu. Bahkan saat terjadi gempa dengan kekuatan 9,0 di Tohoku pada 11 Maret 2011, sebelas unit reaktor berhasil dimatikan secara otomatis, termasuk tiga reaktor di Fukushima Daiichi.

 

Dengan demikian, menurut dia, meskipun ada zona rawan gempa di beberapa wilayah, PLTN dapat dibangun dengan langkah-langkah keamanan yang tepat dan perencanaan yang cermat. Seluruh industri nuklir bertujuan untuk menghadirkan sumber energi yang aman dan berkelanjutan, dengan memprioritaskan keselamatan masyarakat dan lingkungan.

 

“Perlu diketahui juga bahwa PLTN memiliki manfaat besar dalam sektor energi dan lingkungan. PLTN dapat memberikan pasokan energi yang stabil dan berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Dalam upaya mencapai target pengurangan emisi dan menghadapi perubahan iklim global, PLTN dapat menjadi salah satu solusi yang dapat diandalkan,” tukas Agnafan. (*)

 

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

Berita Lainnya

Index