Listrik Indonesia - Telepon selular puluhan jurnalis bidang energi di Jakarta menerima notifikasi. Ada pesan baru masuk di grup whatsapp "SKK Migas dan Media", Senin (15/3/2021), tepatnya pukul 08.37 WIB.
Salah seorang staf Hubungan Humas SKK Migas (Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) membagikan keterangan pers tertulis.
"Selamat pagi Bapak/Ibu, terlampir siaran pers SKK Migas hari ini. Terima kasih," ujar staf yang selalu mendampingi pemburu berita yang sehari-hari bertugas di lingkungan SKK Migas dan perusahaan migas (kontraktor kontrak kerja sama, KKKS).
Berjudul "Kemenko Polhukam RI Usulkan Bentuk Tim Gabungan untuk Tangani Sumur Ilegal", dapat ditebak bahwa masalah penambangan liar (illegal drilling) migas masih sebagai soal sengkarut.
Ternyata, persoalan penambangan liar di lingkungan industri hulu migas masih saja tak kunjung tuntas. Padahal para pemangku kepentingan pada waktu tertentu setiap tahun ramai bersuara seputar penanganan total gangguan operasi dan tindak pidana migas dimaksud, secara lintas sektoral alias melibatkan berbagai instansi --termasuk Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Diutarakan dalam keterangan pers tersebut, Asisten Deputi II (Bidang Kamtibmas) Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Kemenko Polhukam) Brigadir Jenderal Polisi Eriadi di Jakarta, Selasa (9/3/2021) menegaskan kegiatan pemboran sumur ilegal migas semakin mencemaskan.
Sebut saja, katanya, jumlah kasus illegal tapping dan illegal drilling terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
BACA JUGA: Surplus Listrik di Sumsel, Masyarakat Tak Perlu Khawatir Kekurangan Energi Listrik
Tindak illegal tapping adalah kegiatan pencurian minyak dari pipa salur. Biasanya dengan cara melubangi pipa. Sering terjadi pula perusakan pipa salur agar rembesan minyak masuk ke properti --misalnya kolam atau kebun-- sebagai modus untuk menuntut kompensasi.
Maksud illegal drilling, yakni kegiatan masyarakat mencari minyak bumi dengan membuat atau membor sumur. Selanjutnya memproduksi minyak melalui proses penyulingan.
Apakah terjadi pembiaran oleh aparat berwajib? Eriadi menyatakan kepolisian, khususnya, sama sekali tidak tutup mata.
“Kami mencatat pada tahun 2018 ditetapkan 168 tersangka. Kemudian pada 2019 ditetapkan 248 tersangka, dan 2020 ditetapkan 386 tersangka," ujarnya.
Apakah penegakan hukum itu tak mendatangkan efek jera? Eriadi menandaskan, "Di lapangan kita melihat kegiatan (penambangan liar migas) masih saja meningkat. Kita harus mengubah strategi penanganannya.”
Terdapat delapan provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan ilegal itu, menurutnya, yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dia lalu mengutarakan pihak Kemenko Polhukam mengusulkan pembentukan tim gabungan lintas sektoral sebagai solusi atas bertambah maraknya aktivitas penambangan liar migas. Tim diarahkan bekerja sistematis dan terkoordinasi baik. Payung hukum guna mengatur kegiatan task force akan disiapkan.
Sementara itu Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jambi Inspektur Jenderal Polisi Rachmat Wibowo pada rilis pers yang sama disebutkan menggelar rapat koordinasi penanganan penambangan liar migas tiga hari sebelumnya (6/3/2021).
Rapat melibatkan unsur SKK Migas, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Batang Hari, Pemda Kabupaten Muaro Jambi, Pemda Kabupaten Sarolangun, Korem 042 Jambi, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi, dan pihak Dinas ESDM Jambi.
Data terkini diapaparkan dalam rapat koordinasi, sumur ilegal migas di Jambi diperkirakan mencapai 3.000 titik. Letaknya tersebar di kawasan hutan maupun luar hutan. Potensi serapan pekerja tak kurang 50 ribu orang, yang sangat mungkin sebagian besar kepala keluarga.
Tindak Pidana Migas
Wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) merupakan kawasan yang jumlah kasus penambangan liar migas tertinggi, khususnya di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi.
BACA JUGA: Progres Konstruksi PLTU Sumsel-8 Capai 50%
Gangguan operasi dan tindak pidana migas di Sumbagsel berupa illegal tapping, illegal drilling --keduanya di hulu, serta penyulingan minyak dan penyalahgunaan pengangkutan dan niaga BBM subsidi ke industri.
Pelanggaran hukum di hulu itu berupa penyerobotan sumur milik Pertamina dan KKKS lain. Juga pencuarian fasilitas produksi operasi migas.
Harapan Warga Penambang
Penelusuran LISTRIK INDONESIA di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, menemukan fakta maraknya penambangan liar migas, seperti yang dikemukakan pihak Kemenko Polhukam dimaksud. Oleh warga, penambangan minyak bumi itu tentu mudah diprediksi bentuknya trandisional. Tidak ada pemakaian teknologi modern.
Begitu pula kegiatan penyulingan atau pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar minyak (BBM) siap pakai. Kelompok penambang bekerja dengan peralatan sangat sederhana. Pun proses kerja yang jauh dari metode penambangan yang baku.
Tidak mengherankan bila aspek keselamatan kerja jauh dari standar. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan penambang terluka, bahkan kehilangan nyawa, kerap terjadi. Kasusnya bukan cuma di Sumsel, namun mulai dari Aceh (Field Rantau), Jambi (Field Jambi), hingga Kabupaten Bojonegoro, Jawa Tengah (Field Cepu).
Mulyadi, ketua Paguyuban Pemuda Borang Keluang, mengutarakan kegiatan warga memanfaatkan kekayaan minyak bumi desanya berawal pada 2012. Masyarakat mengangkat timbunan minyak bumi di sumur-sumut yang ditinggalkan Pertamina karena tidak ekonomis lagi.
Warga setempat membersihkan sumur yang dipenuhi belukar dan ditutup pemiliknya dengan bakan kayu seadanya. Satu sumur digarap dan dikuasai beberapa kepala keluarga.
Berjalan sekitar empat tahun, aktivitas ilegal di Field Ramba ini ditertibkan tim gabungan. Sempat terjadi perlawanan kelompok penambang, namun akhirnya mereka tak berdaya. Dikawal ratusan personel kepolisian dan TNI, petugas Pertamina EP menutup sumur-sumur migas memakai beton semen.
Sepanjang 2016, catatan Pertamina EP, sebanyak 104 sumur di Musi Banyuasin yang dikuasai kelompok penambang ditertibkan. Sementara 22 sumur di Kabupaten Muratara, juga Sumsel, ditertibkan pada 27 April 2016, tetapi tidak ditutup secara permanen sehingga kelompok penambang kembali menguras kandungan minyak buminya.
Pada tahun yang sama, tepatnya pada 21 Desember, 110 sumur milik KKKS di Kabupaten Sarolangun, Jambi, yang dimanfaatkan masyarakat ditutup. Di provinsi sama, persisnya di Kabupaten Batanghari, 22 sumur ilegal ditutup pada 5 Mei 2017 dan dua titik pada 2 Oktober 2017.
"Harapan kami, Pertamina membuka kembali sumurnya. Kami berharap warga anggota paguyuban dibolehkan untuk memanfaatkan sumur yang sudah ditutup. Toh, itu tidak lagi diapa-apakan oleh Pertamina," kata Mulyadi yang ditemui LISTRIK INDONESIA di rumahnya.
Masih menceritakan sejarah penambangan minyak bumi di Musi Banyuasin atau Muba, Mulyadi mengungkapkan sejak penutupan permanen sumur migas milik Pertamina, warga tanpa menunggu lama melakukan penambangan sendiri.

Lokasinya sumur yang diusahakan sendiri penambang terletak di tengah kawasan hutan ringan di sekitar permukiman. Tak sedikit pula yang berada di kalaman rumah.
Mulyono mengungkapkan menambang minyak bumi --meski dikategorikan ilegal oleh aparat atau instansi berwenang-- menjadi dewa penolong yang memperbaiki tingkat masyarakat. Lesunya usaha perkebunan sawit dan karet akibat harga panen warga terus-menerus jatuh membuat warga mau tidak mau kembali membor bumi pasca penertiban.
"Ada sekitar 300 sumur minyak bumi yang diusahakan masyarakat. Dalamnya 300 meter. Dengan lima sampai 10 pekerja, satu sumur menghasilkan antara satu sampai 50 drum minyak mentah per hari. Harga jual minyak mentah kurang-lebih 500 ribu rupiah," papar Mulyadi.
Pendapatan seorang pemolot atau penarik tambang yang memompa minyak mentah keluar sumur antara Rp 200-ribu hingga Rp 500 ribu per hari kerja. Tergantung volume kandungan minyak di titik sumur yang diusahakan. Bahkan ada yang mampu mengantongi Rp 1juta. Kondisi ini tentu penghasilan luar biasa di pelosok, sangat jauh dibanding pekerjaan lain di desa.
"Lapangan kerja ini diciptakan sendiri oleh masyarakat. Mau kerja di perusahaan, semua tutup. Pemboran adalah sumber kehidupan. Negara seharusnya hadir membawa keadilan. Inilah kehidupan warga," Mulyadi berargumen apik.
Rusli, ketua kelompok penambang di Kelurahan Mangunjaya, Kecamatan Babat Toman, juga Kabupaten Musi Banyuasin, menceritakan hal serupa ketika ditemui LISTRIK INDONESIA di lokasi sumur migasnya.
Ia menegaskan kegiatan penambangan migas oleh masyarakat sepatutnya didudukkan sebagai geliat ekonomi kerakyatan yang perlu dibantu pemerintah.
Sebenarnya, menurut Rusli, kegiatan warga dimaksud bertujuan memperoleh "upah angkat dan angkut". Instansi berwenang mencapnya "ilegal" karena pemerintah tidak mengupayakan sungguh-sungguh agar ada lembaga resmi yang menampungnya.
BACA JUGA: PTBA Siap Masuk ke Bisnis DME
Dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua diatur bahwa hasil minyak mentah yang dikumpulkan penambang tradisonal dapat ditampung melalui koperasi.
Sayang, ungkap Rusli, jalan keluar tersebut tak sepenuhnya berjalan. Peluang ini hanya dimanfaatkan kelompok dan pihak tertentu mengeruk keuntungan sendiri. Tidak semua minyak mentah yang diangkat dan diangkut penambang ditampung.
Kabupaten Musi Banyuasin bahkan telah memiliki Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibentuk guna menampung minyak mentah dan atau hasil penyulingan masyarakat. Namanya PT Petro Muba. Selanjutnya, BUMD ini menjualnya ke Pertamina. Jadi, telah dirancang 100 persen hasil usaha warga dikembalikan ke Pertamina.
Kenyataannya, ungkap Rusli, "Ada pihak tertentu yang mengharuskan minyak warga ke MK. Selanjutnya ke Petro Muba, sebelum ke Pertamina. Padahal MK ini tidak mengelola sumur. MK cuma memetik fee."
Rusli menjelaskan MK adalah seorang pengusaha. Dialah yang meraup untung besar atas "industri liar migas" di Sumbagsel. Persoalan lainnya, MK hanya menampung kelompok warga tertentu. Tak pelak, minyak mentah dan minyak yang telah disuling menjadi BBM siap pakai yang dihasil warga mengalir liar ke mana-mana alias memenuhi pasar gelap.
Mengenai deretan panjang kasus ledakan atau kebakaran di sumur-sumur tradisional migas yang kerap mengakibatkan korban jiwa, Mulyadi dan Rusli berpendapat jika pemerintah menerima fakta terselamatkannya ekonomi masyarakat atas lapangan kerja yang tercipta tersebut maka pembinaan kecelakaan kerja akan digelar.
"Tidak ada yang tak bisa dididik. Karyawan Pertamina saja dididik bagaimana menjaga keselamatan kerja. Warga juga berharap diajari bagaimana berkerja aman," tutur Mulyadi.
Harap yang sama diutarakan Rita (42 tahun). Hindun,suami Rita, meninggal dunia sepekan setelah mengalami kecelakaan saat bekerja di sumur migas di Keluang. Ia meninggalkan empat putra masih kecil, yang kini dihidupi sendiri oleh Rita.
"Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi, kalau pemerintah mengajari penambang, warga pasti senang. Biarlah suami saya korban terakhir," tutur Rita menjawab LISTRIK INDONESIA ketika bertandang di kediamannya.
Ramai-ramai Bermain
Berada di tengah kampung penambang tradisional migas, bukan rahasia bahwa rezeki minyak bumi di sumur-sumur tua milik KKKS maupun yang murni dibor warga sendiri mengalir dan dinikmati banyak pihak.
Pihak Kemenko Polhukam tentu keliru jika cuma menyorot warga kampung sebagai "maling" atas illegal drilling. Namun, sangat mungkin pula, Jakarta mengetahui persis bahwa "pemain" di balik maraknya penambang liar migas demikian beragam seragamnya.
Laporan Pertamina yang diterima LISTRIK INDONESIA pun mengungkap kondisi tersebut. Ambil saja laporan berjudul "Data Illegal Drilling & Penyerobotan Sumur di WKP Pertamina EP" tertuang cukup lengkap pemilik sumur-sumur liar migas.
Di Field Ramba, misalnya, orasional beberapa sumur di lahan milik Lan dipimpin oleh Hari, anggota Polsek Keluang. Sementara pengusahaan sumur di lahan Parno sehari-hari diketuai Kasyadi, pun personel Polsek Keluang.
BBM produk sumur di Kelurahan Keluang, Kecamatan Keluang, Kabupaten Musi Banyuasin, itu diangkut pembeli dari Kabupaten OKU dan Kabupaten OKU, masing-masing di Sumsel. Masuk pula pembeli dari Lampung, Jambi, Sumatera Barat (Sumbar), dan Riau.
Masih di lokasi sama, sumur di lahan Petol dikelola oleh Bripka Aswin, Briptu Hari, Brigadir Raja, dan Bripka Mulya. yang bertugas di Polsek Keluang. Jumlah sumur yang dikuasai 50 titik. Produksi mintak mentah sebesar 6.000 liter per hari.
BACA JUGA: Program Konversi PLTD di Sumsel, DPD Melapor ke Jokowi
Masih di Field Ramba, mantan anggota DPRD Musi Banyuasin juga bermain. Meskipun cuma memiliki empat sumur, minyak mentah yang dihasilkan mencapai 8.000 liter per hari. Hasil penambangan ini dibeli penampung asal Kecamatan Keluang, Lawang Wetan, dan Bayung Lincir --masing-masing di Kabupaten Musi Banyuasin.
Penampung selanjutnya menjual ke pemilik penyulingan di Desa Bayat, yang hasil berupa BBM dibeli pengusaha Jamnbi, Sumbar, dan Riau.
Di sumur yang berada di lahan Rohmat, operasional penambangan di bawah kendali Salim, personel Kodim Musi Banyuasin. Ia mengawal dua sumur yang cukup produktif.
Anggota Korem Gapo juga mengusahakan beberapa sumur di Field Ramba. Belasan ribu liter minyak mentah diangkat dari perut bumi setiap hari.
Nah, karyawan Pertamina EP bernama Bores tak ketinggalan mengoperasikan sumur migas bercap "ilegal". Menurut laporan Pertamina, ia memimpin kegiatan penambangan di dua sumur yang terletak di lahan Munir. Dari sini mengalir 3.000 liter minyak mentah per hari.
Bagaimana penyelesaian terbaik ihwal penambangan liar migas (hulu) dan perdagangan produk BBM-nya? Memang dibutuhkan koordinasi yang lebih serius oleh lintas instansi.
Dibutuhkan pula penerbitan peraturan di tingkat pusat dengan memperhatikan dinamika dan rumitnya persoalan atas terabaikannya penegakan hukum karena keuntungan ekonomi pihak-pihak tertentu.
Fakta perputaran ekonomi masyarakat banyak sebagai dampak pemanfaatan minyak bumi wajib menjadi pertimbangan pemerintah pusat. Sebab, ujung kebijakan pemerintah sepatutnya menghadirkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. (RE)
0 Komentar
Berikan komentar anda