Listrik Indonesia | Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim menjelaskan bagaimana rencana penyediaan ketenagalistrikan menuju Net Zero Emisi (NZE) 2060 yang diusung oleh DEN. Hal itu diungkapkanya saat menjadi pembicara di Indonesia International Geothermal Convention, di Jakarta. Rabu, 20 September 2023.
Transisi energi adalah upaya global untuk mengurangi emisi karbon yang dapat merusak iklim bumi. Tujuan utama dalam transisi energi adalah meningkatkan penggunaan energi bersih. Presiden Joko Widodo dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai target Net Zero Emisi (NZE) pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat.
Dalam konteks ini, sektor ketenagalistrikan memainkan peran penting dalam mewujudkan NZE 2060. Hal ini akan berkaitan dengan penggunaan energi terbarukan dalam pembangkitan listrik. Selain itu, juga penting untuk mempertimbangkan aspek ketahanan energi, yang mencakup 4A (Availability, Accessability, Affordability, dan Acceptability). DEN telah membuat 10 tujuan dan strategi pengelolaan energi yang dituangkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).
“Transisi energi ini merupakan perpindahan dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Saat ini, target kita adalah mencapai 23 persen penggunaan energi terbarukan, tetapi kita baru mencapai 12,5 persen. Penting untuk diingat bahwa kita tidak bisa segera berhenti sepenuhnya menggunakan energi fosil. Energi fosil masih sangat penting untuk menjaga ketahanan energi negara kita, dan negara-negara lain juga menghadapi situasi serupa,”ujar Pria yang akrab disapa HDI.
Electricity Supply Scenario Towards 2060
Herman Darnel Ibrahim mengungkapkan perkiraan kebutuhan listrik pada tahun 2060, yang diperkirakan sekitar 2200 hingga 2600 Terawatt Hour (TWh). HDI berpendapat bahwa kita harus mengurangi pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil sebanyak mungkin dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.
Untuk mencapai angka 2600 TWh pada tahun 2060. Maka DEN merancang skenario suplai ketenagalistrikan. Pertama, dalam asumsi bahwa listrik geothermal akan menjadi kompetitif dibandingkan dengan sumber energi lainnya dan mengingat keunggulan kemampuannya untuk menyediakan pasokan listrik berkelanjutan, maka potensi geothermal akan dieksplorasi hingga maksimumnya, yaitu sekitar 150 TWh.
Kedua, Maksimalkan pemanfaatan potensi sumber daya energi yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, seperti energi hidro, geotermal, dan biomassa. Dari perkiraan produksi antara 2100 hingga 2400 TWh, sekitar 730 TWh dapat diperoleh dari sumber-sumber ini.
Ketiga, Penggunaan Teknologi Rendah Karbon, seperti Penangkapan Karbon, pada Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (SPP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Alam Terkombinasi (CCGT), dapat memberikan kontribusi sekitar 500 TWh.
Keempat, Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Angin, tanpa penyimpanan besar, diperkirakan dapat memberikan kontribusi sekitar 160 TWh (Surya 100 TWh dan Angin 60 TWh).
Kelima, Energi dari laut diharapkan akan dikembangkan dan dapat memberikan kontribusi sekitar 10 TWh. Dengan semua upaya ini, masih ada kekurangan sekitar 700-1000 TWh.
Keenam, Perbedaan dalam kebutuhan sisa sekitar 700-1000 TWh akan dipenuhi oleh Energi Terbarukan Variabel (VRE) dari Surya (~450-650 GW) dengan Penyimpanan Besar.
Ketujuh. Jika solusi teknologis ekonomis untuk pengembangan Surya VRE secara massif tidak dapat sepenuhnya diimplementasikan, maka kemungkinan mencapai NZE akan memerlukan energi nuklir.
Geothermal Punya Peran Penting
HDI yang pernah menjabat Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia Periode 2001-2004 mengungkapkan, Indonesia harus sepenuhnya mengoptimalkan penggunaan panas bumi untuk mencapai target bauran energi 23% pada tahun 2025 dan, pada akhirnya, mencapai Karbon Netral (Net Zero Emission) pada tahun 2060. Dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya, panas bumi memiliki sejumlah keunggulan yang mencolok.
Berkat karakteristik uniknya, panas bumi memiliki potensi besar sebagai pembangkit beban dasar (base-load). Hingga saat ini, pembangkit listrik berbasis fosil, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara, menjadi sumber utama pembangkit beban dasar.
"Selain pasokan listrik yang stabil, energi panas bumi juga menawarkan keunggulan dalam hal biaya, jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya seperti energi air, tenaga surya, dan tenaga angin, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca," ungkap Ketua Dewan Pakar Majalah Listrik Indonesia ini.
"Meskipun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) memiliki potensi sebagai pembangkit beban dasar. Kendati begitu, PLTP belum dapat sepenuhnya menggantikan peran PLTU," terang HDI.
HDI juga mengungkapkan hasil Diskusi Kelompok Kerja (FGD) Dewan Energi Nasional (DEN) bersama berbagai pemangku kepentingan telah diumumkan. FGD tersebut mengambil kesimpulan bahwa penentuan harga panas bumi harus mempertimbangkan aspek ekonomi proyek, dan bukanlah perbandingan dengan harga jenis energi lain yang tidak relevan.
Selain itu, terkait dengan percepatan pengembangan panas bumi, Keputusan Presiden akan melibatkan sejumlah izin seperti izin lingkungan (AMDAL), izin kehutanan, dan izin sumber daya alam. Biaya infrastruktur penggantian, khususnya terkait akses jalan, dapat berupa kompensasi pajak dan pembagian risiko eksplorasi bersama pemerintah.
Dalam upaya memastikan tingkat pengembalian investasi (IRR) yang sesuai, risiko akan dibagi antara pihak yang akan menggunakan panas bumi (off taker-PLN) untuk tarif yang kompetitif dan pengembang yang akan memikul risiko tingkat bunga yang menarik.
Lebih lanjut, disarankan untuk membentuk konsorsium atau koperasi khusus guna memiliki rig panas bumi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi biaya, serta memberikan insentif seperti tunjangan pajak guna meningkatkan daya saing ekonomi dalam sektor ini.