Listrik Indonesia | Dalam upaya mengkaji lebih dalam peluang dan tantangan pengembangan energi nuklir di Tanah Air, Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) menyelenggarakan webinar bertajuk “Prospek dan Tantangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia” pada Selasa (24/6/2025). Salah satu Narasumber utama dalam acara ini adalah Dr. Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2020–2024, Dewan Pakar MKI dan Ketua Dewan Pakar Majalah Listrik Indonesia.
Dalam pemaparannya, Herman Darnel Ibrahim yang akrab disapa HDI mengajak peserta untuk melihat tren global pembangkit listrik tenaga nuklir. Sejak tahun 2000, menurutnya, produksi listrik PLTN dunia stagnan di angka sekitar 2500 TWh per tahun. Kontribusinya terhadap total produksi listrik dunia pada tahun 2022 hanya sekitar 9%.
“Meskipun ada pertumbuhan di Asia, sebagian besar produksi PLTN masih berasal dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Perancis, Rusia, dan Cina,” jelas HDI.

Biaya Mahal dan Risiko Tinggi
Menurut HDI, pembangunan PLTN bukanlah hal yang bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan biaya sangat besar, waktu pembangunan yang panjang, serta kesiapan dari berbagai sisi.
“PLTN itu tidak bisa dibangun hanya karena niat atau semangat transisi energi. Kita bicara proyek besar, mahal, rumit, dan berisiko tinggi. Butuh komitmen politik, kelembagaan yang siap, regulasi lengkap, dan SDM yang mumpuni,” ujarnya tegas.
Ia menjelaskan, rata-rata biaya investasi pembangunan PLTN dengan teknologi generasi terbaru bisa mencapai USD 5–8 miliar untuk kapasitas 1000 MW. Lamanya pembangunan juga menjadi isu besar, dengan waktu penyelesaian rata-rata hampir 10 tahun, dan dalam beberapa kasus bisa lebih dari 40 tahun. Proyek yang mengalami keterlambatan pembangunan juga akan dibebani dengan bunga selama masa konstruksi (Interest During Construction), yang membuat biaya makin membengkak.
Contoh Proyek PLTN Termahal Dunia
HDI menyoroti dua proyek PLTN paling mahal yang saat ini menjadi pelajaran penting:
- Vogtle Unit 3 dan 4 di Georgia, Amerika Serikat, dengan dua reaktor AP1000 berkapasitas 2200 MW, menghabiskan biaya lebih dari USD 30 miliar—dua kali lipat dari estimasi awal.
- Hinkley Point C di Inggris, dengan kapasitas 3200 MW, menghabiskan USD 32–46 miliar dan mengalami penundaan hingga tahun 2029.
“Ini menunjukkan bahwa membangun PLTN bukan pekerjaan biasa. Risiko biaya dan waktu sangat besar, bahkan di negara maju,” tambahnya.
.jpg)
PLTN dan Kebijakan Energi Nasional
Dalam dokumen Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), energi nuklir disebutkan sebagai bagian dari strategi jangka panjang menuju dekarbonisasi. Peran PLTN akan dimaksimalkan jika keekonomiannya terpenuhi. Proyeksinya, kontribusi PLTN terhadap bauran energi nasional baru akan terasa signifikan setelah tahun 2040.
Namun HDI menilai, banyak sekali syarat yang harus dipenuhi sebelum PLTN dapat dibangun. Di antaranya adalah penetapan lokasi yang aman dari bencana geologi, tidak padat penduduk, serta bukan lumbung pangan nasional. Selain itu, badan pengawas tenaga nuklir harus independen, transparan, dan memiliki kewenangan penuh.
Indonesia Belum Penuhi Syarat Minimum
Menurut HDI, berdasarkan panduan dari International Atomic Energy Agency (IAEA), Indonesia saat ini belum memenuhi infrastruktur dasar untuk pembangunan PLTN. “Belum ada UU khusus tentang PLTN, belum ditetapkan organisasi pelaksana, belum ada studi kelayakan lokasi, dan independensi badan pengawas seperti Bapeten masih terbatas. Ini belum bisa disebut siap,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya kesiapan sumber daya manusia. Untuk membangun dan mengoperasikan PLTN, tenaga ahli harus dipersiapkan minimal 10–15 tahun sebelumnya. Saat ini, belum ada skema pelatihan dan pendidikan yang terstruktur untuk mencetak SDM nuklir dalam jumlah dan kualitas yang memadai.

Tantangan Pendanaan dan Kemungkinan Penolakan Sosial
Dari sisi pendanaan, HDI memaparkan bahwa satu PLTN berkapasitas 500 MW membutuhkan dana antara USD 3–5 miliar. Jika dikembangkan hingga 3000 MW, total biaya bisa mencapai USD 30 miliar atau sekitar Rp 500 triliun. Jika menggunakan pinjaman luar negeri, maka akan menambah beban utang negara. Jika dibangun oleh swasta, maka diperlukan jaminan pemerintah terkait harga listrik dan risiko proyek.
“Untuk proyek sebesar itu, kalau dananya berasal dari utang, maka akan menambah beban fiskal. Kalau swasta yang bangun, mereka pasti minta jaminan pemerintah, dan itu ujung-ujungnya juga membebani negara,” jelasnya.
Selain tantangan teknis dan ekonomi, HDI juga menyoroti potensi penolakan dari masyarakat yang bisa berujung pada ketidakstabilan politik. Isu keselamatan, limbah radioaktif, dan risiko kecelakaan akan selalu menjadi kekhawatiran publik yang tidak bisa diabaikan.
Jangan Terburu-Buru Bangun PLTN
Menanggapi rencana pembangunan PLTN 2 x 250 MW yang dijadwalkan dalam RUPTL selesai pada 2032 dan 2033, HDI mengungkapkan keraguannya. “Dengan kondisi sekarang, kecil kemungkinan target itu bisa tercapai. Kita harus realistis. Paling cepat pun mungkin 2040, dan itu kalau semua syarat disiapkan mulai sekarang,” katanya.
Menutup paparannya, HDI menegaskan bahwa PLTN memang dapat menjadi bagian dari solusi energi bersih dan berkelanjutan, namun langkah menuju ke sana harus ditempuh secara hati-hati, rasional, dan berbasis kesiapan menyeluruh.