Produksi Blok Rokan Belum Tembus Target

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 23:46:07 WIB
Produksi Blok Rokan Belum Capai Target

Listrik Indonesia | Tepat hari ini, 9 Agustus 2025, genap empat tahun sejak Wilayah Kerja (WK) Migas Blok Rokan resmi dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) setelah beralih dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 9 Agustus 2021. Namun, capaian produksi yang diharapkan yakni 400.000 barel per hari seperti pernah disampaikan Presiden Joko Widodo saat kunjungan ke Blok Rokan pada 5 Januari 2023—belum juga terwujud. 

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menyebut kegagalan tersebut dibarengi dengan kondisi arus kas PHR yang “berdarah-darah” akibat strategi peningkatan produksi yang dinilai keliru. “Ini kenyataan pahit yang membuat keekonomian Blok Rokan merosot,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (9/8). 

Yusri mengingatkan bahwa isu ini bukan hal baru. Tempo edisi 22 September 2023 sempat memberitakan sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mempertimbangkan beralih dari skema Gross Split ke Cost Recovery demi menyelamatkan kinerja keuangan, termasuk PHR yang masih menunggu persetujuan pemerintah. Ia juga menyoroti peran Achandra Tahar, mantan Wakil Menteri ESDM sekaligus penggagas Gross Split, yang dinilai ikut memengaruhi minat investor di sektor hulu migas. 

Nama lain yang disinggung adalah Jaffee Arizon Suardin, mantan Dirut PHR yang kini menjabat Direktur Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero). Menurut Yusri, kinerja Jaffee di masa lalu juga berkaitan dengan kegagalan pengelolaan Blok Rokan. 

Salah satu kebijakan yang dikritik adalah pengeboran masif sekitar 1.600 sumur sejak masa transisi hingga kini. Dengan biaya rata-rata USD 2,5 juta per sumur, total pengeluaran diperkirakan mencapai USD 4 miliar. PHR juga dinilai salah memilih teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), khususnya Chemical Enhanced Oil Recovery (CEOR), yang memerlukan investasi tambahan sekitar Rp 5,18 triliun. Nilai tersebut mencakup Plan of Development (PoD) CEOR di Lapangan Minas sebesar Rp 1,48 triliun serta Steam Flood EOR di Lapangan Rantau Bais senilai Rp 3,7 triliun. 

Berdasarkan pengujian core flood di lapangan Minas, tingkat Recovery Factor (RF) setelah injeksi kimia hanya sekitar 60%, jauh di bawah hasil uji laboratorium dengan core sintetis yang bisa mencapai 90%. “Kesalahan pemilihan teknologi ini bisa berujung pada konsekuensi hukum,” tegas Yusri. 

Jika dihitung dengan asumsi harga minyak USD 70 per barel, gabungan biaya pengeboran dan CEOR sebesar USD 4,3 miliar hanya menghasilkan sekitar 61,43 juta barel atau 42.000 barel per hari selama empat tahun. Yusri juga menyoroti investasi pipa sepanjang 365 km oleh PT Pertagas senilai USD 300 juta (sekitar Rp 5 triliun) yang diduga bermasalah. 

PHR sendiri belum membeberkan angka pasti produksi Blok Rokan. Dalam wawancara CNBC Indonesia pada 10 Mei 2025, Dirut PHR Rubi Mulyawan hanya menyatakan target semester I belum tercapai. Data menunjukkan produksi rata-rata pada 2024 sebesar 158.167 barel per hari, sedikit turun dari angka 158.500 barel per hari saat alih kelola pada 2021. 

“Blok Rokan adalah salah satu penopang utama produksi minyak nasional selain Blok Banyu Urip. Pemerintah harus cermat melihat data produksi, jangan hanya terpaku pada klaim sementara,” kata Yusri, merujuk pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang pada 30 Juli 2025 menyebut produksi nasional telah melampaui target APBN menjadi 608.000 barel per hari. 

Yusri menutup dengan peringatan kepada Presiden Prabowo Subianto agar mewaspadai masukan yang terlalu optimistis terkait produksi migas nasional. “Jangan sampai tersandera agenda tersembunyi,” ujarnya.

Tags

Terkini