Listrik Indonesia | Anggota Komisi XI DPR RI, Didik Haryadi, menyoroti pentingnya ketepatan sasaran dalam penyaluran subsidi energi, khususnya subsidi listrik yang disalurkan melalui PT PLN (Persero). Ia menegaskan bahwa kebijakan subsidi harus benar-benar menyasar masyarakat kecil dan tidak justru dinikmati oleh kelompok mampu.
“Subsidi ini hadir karena ada masyarakat yang tidak mampu membeli listrik dengan harga dasar PLN. Tapi jangan sampai orang yang mampu justru ikut menikmati. Subsidi harus berkeadilan, tepat sasaran, dan hanya untuk yang benar-benar membutuhkan,” ujar Didik kepada Parlementaria usai kunjungan kerja Komisi XI DPR RI ke PT PLN UP3 Surakarta di Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025).
Pemerintah tercatat mengalokasikan dana besar untuk subsidi energi dan non-energi dalam beberapa tahun terakhir. Angkanya mendekati 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2024, alokasi subsidi listrik yang disalurkan melalui PLN ditetapkan sebesar Rp75,83 triliun. Anggaran itu terdiri atas Rp73,24 triliun untuk subsidi berjalan dan tambahan Rp2,58 triliun untuk menutup kekurangan pembayaran tahun sebelumnya. Hingga akhir tahun, realisasi subsidi listrik mencapai sekitar Rp77,05 triliun.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa sebagian besar subsidi listrik dinikmati oleh rumah tangga kecil dengan daya 450 VA dan 900 VA. Jumlah pelanggan di kategori ini mencapai 35,2 juta rumah tangga dan menyerap sekitar 67 persen dari total subsidi. Per Mei 2025, penyaluran subsidi listrik telah mencapai Rp34,6 triliun dengan volume 31,17 TWh.
Didik menilai bahwa besarnya anggaran tersebut harus disertai pengawasan ketat agar tidak salah sasaran.
“Kalau tidak tepat sasaran, maka kita hanya menambah beban fiskal negara tanpa manfaat yang dirasakan masyarakat miskin,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kondisi surplus listrik di Pulau Jawa yang berbanding terbalik dengan peningkatan beban subsidi. Menurutnya, kondisi itu menandakan perlunya evaluasi serius terhadap tata kelola PLN.
“Ketika PLN masih surplus daya, tapi beban subsidi membesar, artinya ada masalah dalam tata kelola yang perlu diperbaiki,” jelas Didik.
Selain menyoroti aspek penyaluran, Didik juga mendorong adanya peta jalan (roadmap) energi nasional yang lebih terarah. Ia menilai investasi pada energi terbarukan berbiaya rendah bisa menjadi solusi jangka panjang.
“Sumber energi bersih seperti bioenergi atau panel surya mampu menghasilkan listrik dengan harga 5–6 sen per kWh, jauh lebih rendah dari pembangkit berbasis fosil,” katanya.
Menurutnya, jika biaya produksi listrik bisa ditekan, beban subsidi juga akan berkurang tanpa mengorbankan akses bagi masyarakat kecil. “Kalau listrik bisa diproduksi lebih murah, subsidi tidak perlu sebesar sekarang. Itu akan memastikan subsidi benar-benar sampai pada yang berhak, bukan karena harga dasar listrik yang terlalu mahal,” tutup Legislator Fraksi PDI Perjuangan itu.