Listrik Indonesia | Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan terkait Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dalam perkara bernomor 39/PUU-XX/2022.
Gugatan ini diajukan oleh sepuluh serikat pekerja dan 109 individu yang mempermasalahkan konstitusionalitas sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja.
Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 lampiran UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujarnya dalam sidang di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Dengan putusan ini, MK menegaskan bahwa penyusunan RUKN harus berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan wajib mendapat pertimbangan dari DPR sebelum ditetapkan. Tanpa hal tersebut, pasal ini dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, MK juga menyatakan inkonstitusionalitas penggunaan kata “dapat” dalam Pasal 10 ayat (2). Pasal ini dinilai memberi pemerintah keleluasaan yang berlebihan dalam menetapkan kebijakan tanpa mekanisme pengawasan yang jelas. MK memutuskan bahwa norma tersebut kehilangan kekuatan hukum mengikat. “Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia,” tegas Suhartoyo.
Namun, tidak semua gugatan dikabulkan. MK menolak permohonan yang berkaitan dengan inkonstitusionalitas kata “dapat” pada Pasal 23 ayat (2) dalam Pasal 42 angka 15. Permohonan ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat.
“Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” tutup Suhartoyo.
Putusan ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan kebijakan energi. Selama ini, pemerintah kerap menetapkan RUKN secara sepihak tanpa pengawasan legislatif yang memadai.
Keputusan MK diharapkan menjadi langkah awal dalam mendorong proses yang lebih partisipatif. Namun, masih menjadi pertanyaan sejauh mana pemerintah akan mematuhi putusan ini dan memastikan pelibatan DPR sesuai dengan amanat konstitusi.