Listrik Indonesia | Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) serta Rancangan Undang-Undang Ketenagalistrikan berperan strategis sebagai payung hukum transisi energi di Indonesia. Kedua regulasi ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan energi nasional, menekan emisi gas rumah kaca, dan memperluas akses listrik hijau untuk industri maupun masyarakat.
Pandangan tersebut disampaikan IESR saat bertemu Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno di Gedung DPR/MPR, Nusantara III. Dalam pertemuan tersebut, IESR menekankan pentingnya regulasi yang tidak hanya mendorong percepatan energi terbarukan, tetapi juga memastikan listrik yang berkualitas dan terjangkau.
Eddy Soeparno, yang juga politisi Fraksi PAN, menegaskan urgensi percepatan pembentukan kerangka hukum sektor energi bersih. “Fokus kami saat ini adalah pelaksanaan RUPTL 2025–2034 yang menargetkan tambahan kapasitas 70 gigawatt dalam 10 tahun. Pekerjaan ini besar, kompleks, tapi tak terelakkan,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya skema investasi menarik bagi swasta, kebijakan pembelian listrik yang realistis, serta pengembangan infrastruktur pendukung.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 2024 bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 15,37 persen. Dalam RUPTL 2025–2034, PLN merencanakan penambahan kapasitas pembangkit 69,5 GW, dengan 42,6 GW berasal dari energi terbarukan. Realisasinya akan membutuhkan pendanaan Rp1.682,4 triliun, di mana 80 persen diharapkan dari investasi swasta. Namun, IESR mencatat minat investor masih rendah karena kelayakan finansial proyek dan kebijakan tarif listrik yang tidak mencerminkan biaya produksi dan margin wajar.
CEO IESR Fabby Tumiwa menekankan, permintaan energi hijau dari industri menjadi faktor penting daya saing ekspor. “Ketersediaan energi terbarukan yang mudah diakses dan terjangkau adalah syarat bagi investor menanamkan modal di Indonesia,” tegasnya. Ia mencontohkan Malaysia dan Vietnam yang sudah membuka akses jaringan listrik untuk pembelian langsung dari pengembang energi terbarukan melalui mekanisme power wheeling atau Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT).
IESR mendorong penerapan PBJT serta restrukturisasi pasar listrik agar peluang investasi terbuka luas, namun tetap menjaga kendali negara sesuai UUD 1945. Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 333 GW yang layak secara ekonomi, terdiri dari PLTS 165,9 GW, PLTB 167 GW, dan PLTM 0,7 GW. Beberapa wilayah seperti Bali, Sumbawa, dan Timor bahkan dinilai bisa mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2050.
Dalam audiensi, IESR menyampaikan tiga rekomendasi untuk RUU EBET: memasukkan pasal PBJT, menetapkan kuota PBJT dalam rencana energi, dan membuka peluang desentralisasi pembangkitan energi.
Sementara untuk RUU Ketenagalistrikan, IESR mengusulkan enam poin, antara lain restrukturisasi pasar listrik, pembentukan badan pengelola transmisi yang independen, regulasi untuk layanan penyeimbang (balancing) dan pendukung (ancillary services), penegasan margin PSO sesuai standar global, pembentukan badan pengawas independen untuk pengadaan energi, serta perlindungan bagi konsumen yang menjadi prosumer.
Menurut IESR, percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan kombinasi antara investasi besar, reformasi pasar listrik, dan kebijakan yang berpihak pada energi bersih, sekaligus memastikan akses energi yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.