Listrik Indonesia | Ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) masih menjadi tantangan utama penyediaan listrik di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Pasalnya, biaya pembangkitan PLTD jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit berbasis energi lain.
Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan harga listrik dari PLTD bisa mencapai 15 kali lipat lebih mahal daripada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
“Saat ini listrik yang kita nikmati rata-rata sekitar 3 sen per kWh. Namun, di kawasan Indonesia Timur, seperti di Pulau Flores, harga bisa melonjak hingga 45 sen per kWh,” jelas Eniya dalam sebuah acara di Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Subsidi Membengkak Akibat PLTD
Menurutnya, perbedaan harga yang sangat besar tersebut menimbulkan beban subsidi yang tinggi bagi pemerintah, terutama untuk pasokan bahan bakar diesel. “Subsidi untuk bahan bakar ini luar biasa besar. Itu baru satu pulau, yakni Flores. Belum lagi pulau-pulau kecil di sekitarnya yang masih mengandalkan PLTD,” tambahnya.
EBT Lebih Kompetitif dan Berkelanjutan
Eniya menegaskan, energi baru terbarukan (EBT) kini mampu menawarkan harga listrik yang jauh lebih bersaing. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 112, biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan sudah cukup kompetitif, antara lain:
- Pembangkit listrik tenaga air: 6–7 sen per kWh
- Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS): 5,5–6 sen per kWh
- Pembangkit panas bumi: 9 sen per kWh
“Jika dibandingkan secara langsung dengan diesel, harga EBT sudah masuk kategori terjangkau, terutama untuk kawasan Indonesia Timur,” ujarnya.
Arahan Presiden: Kurangi Ketergantungan PLTD
Lebih lanjut, Eniya menyampaikan bahwa Presiden RI Prabowo Subianto telah memberikan arahan untuk mempercepat peralihan dari PLTD menuju pembangkit berbasis EBT. Langkah ini dinilai penting untuk mengurangi subsidi, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
“Arahan dari Bapak Presiden dan Menteri jelas: kurangi penggunaan diesel dan ganti dengan EBT di sektor kelistrikan. Dengan begitu, kita bisa menekan subsidi sekaligus mendukung transisi energi,” pungkasnya.