Listrik Indonesia | Pemerintah membuka jalan lebih lebar bagi koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) untuk terlibat langsung dalam pengelolaan sektor pertambangan. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Ferry Juliantono mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan peraturan teknis pengelolaan tambang khusus bagi koperasi dan UKM, yang ditargetkan rampung paling lambat Januari 2026.
Saat ini, Kementerian Koperasi dan UKM masih melakukan proses harmonisasi aturan tersebut dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru diterbitkan. Harmonisasi ini dinilai penting agar kebijakan lintas sektor berjalan sejalan dan tidak tumpang tindih.
“Kemenkop juga akan mengharmonisasikan peraturan yang akan kami keluarkan dengan Peraturan Menteri ESDM. Mungkin selambat-lambatnya bulan depan,” ujar Ferry saat ditemui di Jakarta, dalam Forum Indonesia Energy Outlook 2026 yang digelar ASPEBINDO. Rabu (17/12).
Ferry menjelaskan, regulasi yang tengah disusun akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Koperasi dan UKM. Kerangka regulasi beserta penjelasan teknisnya telah tersedia dan kini tinggal memasuki tahap finalisasi. “Kerangkanya sudah ada,” katanya.
Minat Koperasi Kelola Tambang Terus Meningkat
Menurut Ferry, minat koperasi dan UKM untuk terlibat dalam pengelolaan tambang cukup tinggi. Sejumlah permohonan telah masuk, termasuk untuk pengelolaan sumur-sumur minyak rakyat yang telah berumur tua.
“Banyak. Di sumur minyak rakyat sudah ada beberapa tempat. Di Sumatera Selatan ada, kemarin di Papua juga ada, di Sulawesi dan di NTB,” ungkap Ferry.
Dalam ketentuan yang berlaku, selain badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD), terdapat sejumlah pihak yang berhak memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas. Pihak tersebut mencakup koperasi, UKM, badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan, serta BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta untuk kepentingan pendidikan tinggi dan peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi.
Khusus bagi koperasi dan UKM, WIUP mineral logam maupun batu bara yang dapat dikelola dibatasi maksimal seluas 2.500 hektare.
Mengejar Ketertinggalan Koperasi
Ferry menegaskan, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya besar pemerintah untuk mengejar ketertinggalan koperasi yang selama ini dinilai tertinggal dari berbagai sisi, mulai dari aset, skala dan jenis usaha, hingga kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kami diminta untuk segera mengejar ketertinggalan koperasi dengan berusaha secara serius dan berkelanjutan. Karena itu, kami langsung bergerak melakukan transformasi, termasuk digitalisasi dan pengembangan model bisnis baru yang lebih relevan,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan kembali peran strategis koperasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat 1, 2, 3, dan 4. Pasal tersebut menempatkan koperasi sebagai pelaku usaha yang memiliki kedudukan setara dengan badan usaha lain dan mencerminkan nilai ekonomi yang hidup di tengah masyarakat.
Secara historis, koperasi sebenarnya pernah memainkan peran penting di sektor produksi, distribusi, hingga industri, baik pada era awal kemerdekaan, Orde Lama, maupun Orde Baru. Namun, perubahan besar terjadi pascakrisis 1998, ketika Indonesia menandatangani Letter of Intent dengan International Monetary Fund (IMF). Sejak saat itu, praktik ekonomi nasional semakin bergeser ke mekanisme pasar bebas.
“Dalam sistem pasar yang bebas, terjadi stratifikasi pelaku usaha. Koperasi menjadi pihak yang paling sulit bersaing dan akhirnya semakin tersisih,” ujar Ferry.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, arah kebijakan ekonomi nasional ditegaskan kembali agar negara hadir mengatur sistem dan praktik ekonomi. Koperasi didorong untuk bangkit dan kembali menjadi sokoguru perekonomian nasional.
Ferry mencontohkan, banyak aset strategis yang dulunya dimiliki koperasi kini berpindah tangan, bahkan ke pihak asing. Hal serupa juga terjadi di sektor peternakan dan industri pengolahan, di mana koperasi kesulitan menyerap hasil produksi akibat lemahnya dukungan sistem dan regulasi.
“Masalahnya bukan pada kemampuan koperasi, tetapi pada keberpihakan kebijakan yang terlalu besar kepada pelaku usaha besar,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, pemerintah meluncurkan Program Koperasi Desa Merah Putih. Hingga kini, sekitar 80.000 koperasi telah terbentuk dan berbadan hukum. Program ini dirancang modern, mencakup pembangunan gerai usaha, apotek desa, armada logistik, gudang pintar, hingga sistem distribusi dan penjualan produk masyarakat, mulai dari hasil pertanian, perikanan, peternakan, hingga kebutuhan pokok.
Tantangan Infrastruktur dan Energi
Dalam pelaksanaannya, masih ditemukan berbagai kendala di lapangan, terutama di desa-desa yang belum terhubung dengan internet dan belum memiliki akses listrik memadai. Untuk itu, Kementerian Koperasi dan UKM berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Telkom, dan Telkomsel guna mempercepat konektivitas digital desa.
Masalah energi, termasuk ketersediaan solar dan stasiun pengisian, juga menjadi perhatian serius dan tengah dikoordinasikan dengan Pertamina.
Presiden Prabowo, lanjut Ferry, menegaskan bahwa persoalan-persoalan mendasar tersebut harus diselesaikan secara tegas. Tidak boleh ada lagi kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
“Koperasi harus dilibatkan secara adil dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pertambangan, mineral, minyak, dan gas, sepanjang benar-benar dimiliki dan untuk masyarakat setempat,” ujarnya.
Ke depan, jika regulasi telah harmonis dan akses terhadap izin, teknologi, manajemen, serta permodalan dibuka, koperasi dinilai berpotensi tumbuh menjadi badan usaha besar yang berakar dari rakyat. Selain pertambangan, koperasi juga didorong terlibat dalam pengembangan bioetanol, energi baru dan terbarukan, serta pengelolaan sumber daya alam lainnya secara berkeadilan.
“Tidak boleh ada lagi praktik pilih kasih. Koperasi harus dilibatkan. Jika ada pihak yang menghambat, akan dievaluasi bahkan dicopot,” pungkas Ferry.