Listrik Indonesia | Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2020–2024, menyampaikan pandangan strategisnya sebagai keynote speaker di konferensi perubahan iklim COP 29 dengan tema “Investing Green Tomorrow Through Energy Transition” di Paviliun Indonesia, Baku, Azerbaijan, pada Rabu, (13/11/2024).
Dalam forum ini, ia menegaskan bahwa transisi menuju Net Zero Emission (NZE) bukan hanya sebuah kebutuhan global, tetapi juga peluang besar bagi Indonesia untuk memajukan sektor energi yang lebih berkelanjutan.
Satya memaparkan bahwa perjalanan menuju NZE memiliki karakteristik yang kompleks. Menurut laporan McKinsey & Company (2022), semua sektor utama, seperti energi, industri, transportasi, serta pertanian dan kehutanan, berkontribusi terhadap emisi global. Transisi ini menuntut investasi besar, mencapai triliunan dolar per tahun secara global untuk meningkatkan infrastruktur energi rendah karbon. Namun, proses ini tidak merata. Negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan yang lebih berat dibanding negara maju. Di sisi lain, risiko ekonomi seperti stranded assets juga menjadi perhatian, di mana aset-aset berbasis fosil terancam kehilangan nilai di tengah percepatan dekarbonisasi.
Dalam konteks Indonesia, Satya menyoroti bahwa transisi energi menghadirkan tantangan yang multifaset. Investasi masif diperlukan untuk mendorong pertumbuhan sektor energi terbarukan. Namun, tantangan tak hanya berhenti di investasi. Risiko finansial dari stranded assets harus dikelola dengan cermat, terutama pada sektor kelistrikan dan industri yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Selain itu, percepatan teknologi seperti hidrogen, Carbon Capture Storage (CCS), dan baterai harus didorong guna memastikan transisi yang efisien dan terjangkau.
Satya juga menekankan pentingnya transformasi tenaga kerja. Transisi menuju ekonomi hijau tidak hanya menciptakan peluang baru, tetapi juga menuntut kesiapan tenaga kerja dalam mengisi berbagai pekerjaan hijau yang muncul. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia menjadi bagian integral dari strategi transisi energi.
Lebih lanjut, ia memaparkan proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor energi di Indonesia hingga tahun 2060. Dalam skenario Business as Usual (BaU), diperkirakan mencapai 2.238 juta ton CO2e. Namun, jika upaya mitigasi dilakukan secara konsisten, emisi dapat ditekan hingga 129 juta ton CO2e pada 2060. Puncak emisi dalam skenario Low dan High diproyeksikan terjadi pada 2035 dengan level emisi GRK masing-masing 1.069 juta ton CO2e dan 1.242 juta ton CO2e. Skenario ini masih berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2% hingga 6%. Akan jauh berbeda jika pertumbuhan ekonomi mencapai 8%. Upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai NZE sesuai target yang telah ditetapkan.
BACA JUGA: PLN Perkuat Komitmen Transisi Energi untuk Pertumbuhan Ekonomi 8%
Revisi Kebijakan Energi Nasional
Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, pemerintah saat ini telah merevisi Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Revisi ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional, dengan fokus pada pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, serta pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Target EBT sebesar 70-72% pada 2060 dari bauran energi telah dimasukkan dalam PP KEN yang baru.
Angka tersebut sudah mencakup penggunaan energi baru seperti nuklir sebagai solusi jangka panjang jika energi terbarukan belum mencukupi kebutuhan energi nasional.
Peran Sektor Swasta dalam Pendanaan Energi Hijau
Satya menutup paparannya dengan menyoroti peran penting sektor swasta dalam mendukung transisi energi. Instrumen seperti green bonds telah menjadi bagian integral dari upaya pendanaan proyek energi bersih. PLN dan Pertamina, misalnya, telah memimpin langkah ini dengan penerbitan green bonds yang mendukung berbagai inisiatif keberlanjutan.
Melalui forum COP 29, Satya Widya Yudha menegaskan bahwa meski Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam transisi energi, peluang besar untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau dan inklusif terbuka lebar. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci utama untuk memastikan transisi energi berjalan adil dan berkelanjutan.
