Listrik Indonesia | Proses tarik ulur terkait relaksasi izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia (PTFI) terus berlanjut. Penyebab utamanya adalah belum beroperasinya smelter baru milik perusahaan tersebut di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, yang mengalami kebakaran pada Oktober 2024 lalu.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengonfirmasi bahwa PTFI telah mengajukan permohonan izin ekspor untuk 2025.
“Freeport sudah ajukan untuk 2025, dan kami dari Kementerian ESDM sedang membahasnya. Kami juga sudah melakukan rapat dengan Kemenko karena ini melibatkan lintas kementerian,” ujar Bahlil.
Keputusan Menunggu Presiden
Hasil rapat koordinasi ini nantinya akan dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk pengambilan keputusan akhir. Bahlil memastikan bahwa keputusan tersebut akan mempertimbangkan kepentingan negara dan PTFI.
“Kami menunggu hasil rapat dan akan melaporkannya kepada Presiden. Apa pun keputusannya nanti, pasti dipertimbangkan agar memberikan hasil terbaik untuk Freeport dan negara,” lanjutnya.
Smelter PTFI, yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 September 2024, mengalami kerusakan akibat kebakaran pada 14 Oktober 2024. Peristiwa ini menghambat operasional smelter, yang dirancang untuk mengolah hingga 1,7 juta ton konsentrat per tahun.
Percepatan Perbaikan Smelter
Dalam konferensi pers pada Senin (6/1/2024), Bahlil meminta PTFI mempercepat perbaikan smelter.
“Awalnya mereka target selesai di Agustus, tetapi sekarang ditarik lebih cepat, mungkin Mei-Juni sudah selesai,” katanya.
Namun, Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Koordinator Perekonomian, Elen Setiadi, menyebutkan bahwa ramp-up smelter ini baru akan mencapai 40% kapasitas maksimal pada Juli 2025.
“Kondisinya masih enam bulan lagi. Ramp-up baru selesai semester pertama, dan pada Juli nanti hanya mencapai 40% dari kapasitas,” jelas Elen.
Presiden Direktur PTFI, Tony Wenas, menegaskan bahwa smelter baru masih dalam proses perbaikan total, sehingga tidak memungkinkan untuk berproduksi.
“Masih full berhenti. Kalau sedang perbaikan, tentu tidak mungkin produksi,” ungkap Tony.
Meskipun smelter belum beroperasi, aktivitas penambangan di Papua tetap berjalan normal. Akibatnya, terjadi surplus produksi ore, yang menjadi alasan utama PTFI mengajukan relaksasi izin ekspor kepada pemerintah.
“Lagi dibahas. Kelebihan produksi ini sedang didiskusikan,” tutup Tony.
Proses ini mencerminkan kompleksitas antara kepentingan industri dan kebijakan negara. Pemerintah menghadapi dilema dalam menentukan langkah terbaik untuk mendukung keberlanjutan operasional PTFI sekaligus memaksimalkan manfaat bagi ekonomi nasional. (KDR)
