Listrik Indonesia | Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) mengusulkan peningkatan pungutan produksi batu bara sebagai strategi pembiayaan transisi energi. Kebijakan ini dinilai mampu menyedot pendapatan negara hingga Rp353,7 triliun per tahun dari sektor industri batu bara, sekaligus menjadi disinsentif bagi penggunaan energi fosil.
Potensi Pendapatan Mencapai Rp353 Triliun
Berdasarkan analisis SUSTAIN, penerapan pungutan progresif pada produksi batu bara dapat menghasilkan pendapatan minimal Rp84,5 triliun per tahun. Angka ini berpeluang melonjak hingga Rp353,7 triliun jika harga batu bara global tetap tinggi, merujuk pada tren harga periode 2022-2024. Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya, menegaskan skema ini bisa menutup 147% kebutuhan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) hingga 2030.
“Dana ini bukan hanya menjawab masalah anggaran transisi energi, tetapi juga bentuk keadilan bagi masyarakat. Perusahaan batu bara kerap menikmati supernormal profit, sementara biaya lingkungan dan sosial ditanggung publik,” tegas Tata dalam rilis resmi SUSTAIN.
Solusi Pendanaan JETP dan Transisi Energi
Implementasi pungutan tambahan di sektor batu bara disebut mampu membiayai proyek strategis transisi energi, seperti pengembangan jaringan transmisi listrik dan akselerasi energi terbarukan. Dalam skenario terendah, dana yang terkumpul tetap bisa menutup 35% kebutuhan infrastruktur energi bersih.
Tata menambahkan, mekanisme ini bisa dikombinasikan dengan instrumen fiskal lain seperti pajak karbon atau penyesuaian royalti. “Pungutan progresif yang mengikuti fluktuasi harga pasar akan memastikan kontribusi industri sejalan dengan keuntungan yang mereka raup,” jelasnya.
Dukungan Kepemimpinan Indonesia di Kancah Global
Kebijakan ini juga diproyeksikan memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi iklim internasional. Sebagai pemimpin di antara negara-negara Global Selatan, langkah ini menunjukkan komitmen nyata mengurangi ketergantungan pada energi fosil sekaligus mendorong keadilan iklim.
“Ini sinyal bahwa transisi energi harus inklusif, dengan negara penghasil batu bara seperti Indonesia memegang kendali atas prosesnya,” tambah Tata.
