Listrik Indonesia | Wakil Direktur Pengembangan Bisnis II Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Deni Wicaksono, memperkirakan harga karbon global pada tahun 2030 akan berada di kisaran 61 hingga 122 dolar Amerika per ton CO2 ekuivalen. Perkiraan ini sejalan dengan tren penggabungan pasar karbon sukarela (voluntary) dan pasar wajib (compliance) di tingkat internasional.
"Proyeksi harga karbon di tahun 2030 ada di rentang 61 hingga 122 dolar per ton CO2 ekuivalen. Ini merupakan bentuk shadow carbon pricing, mengingat saat ini kita belum sepenuhnya diwajibkan, misalnya untuk PLTU batu bara. Namun ke depan, semua sektor akan dikenakan kewajiban ini," ujar Deni dalam Seminar Strategi Upscaling Bisnis Karbon di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Deni menambahkan, Indonesia kini telah memiliki infrastruktur pasar karbon nasional yang terintegrasi melalui Sistem Registri Nasional (SRN) yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sistem ini berfungsi untuk mencegah terjadinya penghitungan ganda (double counting) dalam transaksi karbon. Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) sendiri saat ini mengoperasikan empat mekanisme perdagangan, yakni pasar lelang, pasar reguler, pasar negosiasi, serta pasar karbon wajib.
Selain itu, Deni juga mengungkapkan peluang ekspor kredit karbon Indonesia ke luar negeri, khususnya ke negara seperti Singapura, yang telah menerapkan kebijakan pajak karbon dan membuka opsi offsetting dari kredit karbon luar negeri.
"Indonesia memiliki cadangan karbon kredit yang besar baik dari sisi kualitas maupun volume. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain penting di pasar karbon global. Kesempatan ini terbuka lebar, tidak hanya untuk sektor kehutanan, tetapi juga untuk energi, industri, hingga transportasi," pungkas Deni.
