Current Date: Minggu, 28 September 2025

Indonesia Hadapi Lonjakan Kebutuhan Gas untuk Pembangkit

Indonesia Hadapi Lonjakan Kebutuhan Gas untuk Pembangkit
Ilustrasi PLTG

Listrik Indonesia | Kebutuhan gas untuk pembangkit listrik di Indonesia terus meningkat seiring percepatan program hilirisasi, swasembada energi, dan transisi menuju energi hijau. PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) memproyeksikan kebutuhan gas untuk sektor kelistrikan tahun ini mencapai 1,5 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD), naik sekitar 4,64% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Direktur Utama PLN EPI, Rakhmad Dewanto, menyampaikan bahwa tren permintaan gas akan terus menanjak dan diperkirakan tembus 2,6 BSCFD dalam sepuluh tahun ke depan. 

"Kenaikan permintaan ini erat kaitannya dengan ekspansi energi baru terbarukan (EBT) yang membutuhkan dukungan pembangkit gas sebagai sumber daya yang fleksibel dan bisa merespon cepat lonjakan beban," ungkap Rakhmad dalam siaran dialognya coffee morning cnbc, dikutip Sabtu (19/7). 

Ia menambahkan, pembangkit gas juga berperan penting sebagai black start atau penggerak awal ketika sistem kelistrikan mengalami kondisi darurat. 

Transisi Energi Butuh Gas yang Andal 

Rakhmad menekankan bahwa meski Indonesia tengah mendorong pertumbuhan EBT, pembangkit gas tetap dibutuhkan sebagai jembatan transisi. "Gas menjadi solusi andal untuk menjaga pasokan listrik tetap stabil dan andal, apalagi di tengah pertumbuhan ekonomi dan hilirisasi industri nasional yang memacu permintaan energi," ujarnya. 

Sebagai penyedia energi primer untuk pembangkit PLN, PLN EPI mendapat amanah untuk memastikan pasokan gas mencukupi agar layanan listrik untuk masyarakat tidak terganggu. 

Tantangan Suplai dan Harga LNG 

Di sisi lain, Ketua Indonesian Gas Society (IGS) Aris Mulya Azof mengungkapkan adanya tantangan serius dari sisi suplai. Produksi gas dari wilayah Sumatera Tengah dan Selatan yang selama ini menyuplai industri di Jawa Barat mengalami penurunan signifikan. Untuk menutup kekurangan, pasokan kini bergeser ke LNG (liquefied natural gas). 

Namun, penggunaan LNG bukannya tanpa tantangan. Harga LNG jauh lebih mahal dibandingkan gas pipa. "Saat ini harga LNG bisa mencapai 15 hingga 16 dolar AS per MMBTU, sedangkan gas pipa selama ini hanya sekitar 6 sampai 7 dolar AS," jelas Aris. 

Ia menegaskan bahwa paradigma harga gas nasional perlu diubah. Ketergantungan pada harga murah dari gas pipa tidak bisa lagi dijadikan acuan utama. "Indonesia harus bersiap memasuki era harga LNG yang mengikuti mekanisme pasar internasional." 

Midstream Gas Terjepit, Infrastruktur Minim Insentif 

Lebih jauh, Aris juga menyoroti ketimpangan kebijakan di sektor gas bumi, terutama di sisi midstream. Sektor ini, yang berada di antara hulu dan hilir, tidak mendapatkan perlindungan maupun insentif memadai. Sementara sektor hulu mendapatkan kepastian bagi hasil dan sektor hilir mendapatkan subsidi harga gas tertentu (HGBT), pelaku midstream seperti PT PGN berada dalam posisi sulit. 

"Tanpa insentif dan jaminan keekonomian, investor enggan membangun infrastruktur gas baru. Padahal kita sangat membutuhkannya untuk menjaga keseimbangan suplai dan permintaan," katanya. Ia juga menyinggung soal perizinan yang rumit sebagai hambatan lain dalam pengembangan infrastruktur. 

Indonesia saat ini berada di titik kritis dalam mengelola transisi energi. Gas bumi dinilai sebagai energi perantara strategis yang mampu menjaga keandalan sistem, mengisi celah saat pasokan EBT belum stabil, sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang lebih kotor. 

Namun untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan perubahan kebijakan menyeluruh, terutama dalam mendukung investasi infrastruktur gas, penyesuaian harga yang realistis, dan penyederhanaan perizinan. Tanpa itu, Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhan gas yang kian meningkat, sekaligus menjaga harga energi tetap kompetitif di tengah transformasi energi global.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#PLTG

Index

Berita Lainnya

Index