Listrik Indonesia | Kebijakan tarif impor terbaru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu kekhawatiran di banyak negara, termasuk Indonesia. Trump menetapkan tarif tambahan sebesar 10% untuk hampir seluruh barang impor yang masuk ke AS, dengan penetapan tanggal 2 April 2025 sebagai "Hari Pembebasan" atau Liberation Day. Namun, kebijakan ini justru dianggap sebagai ancaman bagi kestabilan ekonomi global.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut langkah Trump sebagai momen suram bagi konsumen dunia, bukan pembebasan. "Tarif tinggi ini akan dibebankan kepada konsumen Amerika sendiri, sementara daya beli di sana saat ini sedang menurun. Ini meningkatkan risiko resesi dalam waktu dekat," ungkap Bhima saat diwawancarai.
Ia menjelaskan, dampak dari kebijakan tersebut tidak hanya dirasakan oleh Amerika, tetapi juga berimbas langsung ke negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Investasi asing yang sebelumnya tertarik masuk ke pasar Indonesia kini berpotensi tertunda atau bahkan dibatalkan. Nilai tukar rupiah pun menunjukkan kecenderungan melemah.
Sektor yang paling terdampak di Indonesia adalah industri tekstil dan alas kaki. "Sebesar 64% ekspor pakaian jadi kita dikirim ke AS, sementara ekspor alas kaki mencapai 34%. Jadi, jika permintaan dari AS melemah karena tarif tinggi, maka banyak pabrik di Indonesia yang akan terkena imbas, termasuk ancaman terhadap tenaga kerja," terang Bhima.
Bhima juga mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa membuka celah masuknya barang impor murah dari negara seperti China, Vietnam, dan Kamboja. Negara-negara ini akan mencari pasar alternatif setelah terkena tarif tinggi dari AS. Jika tidak diantisipasi, Indonesia bisa dibanjiri produk murah yang berpotensi melemahkan daya saing industri dalam negeri, terutama UMKM.
Ia menilai, pemerintah Indonesia perlu segera merespons dengan merevisi aturan impor, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. “Kita harus membatasi masuknya barang impor berdasarkan kategori barang secara spesifik,” jelasnya.
Selain itu, ia menyarankan agar Indonesia memperluas pasar ekspor ke negara-negara BRICS seperti China dan India, serta memperkuat konsumsi domestik dengan menjaga daya beli masyarakat.
Terkait tarif balasan yang dikenakan AS terhadap Indonesia, yang mencapai 32%, Bhima menjelaskan bahwa alasan utamanya antara lain adalah defisit neraca perdagangan, kebijakan devisa hasil ekspor yang diwajibkan disimpan di bank domestik, dan regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Namun, ia menilai angka 32% tersebut lebih didasarkan pada sentimen politik ketimbang perhitungan ekonomi yang objektif.
Bhima menambahkan bahwa kebijakan Trump berpotensi memperluas perang dagang secara global. Tidak hanya China yang akan merespons, tetapi juga negara-negara sahabat Amerika seperti Uni Eropa. Ia menyebut kondisi ini sebagai "new normal" dalam perdagangan global di mana aliansi dagang baru bisa terbentuk, termasuk antara China dan negara BRICS lainnya, bahkan dengan Indonesia.
“Dunia sedang mengalami pergeseran besar. Musuh dari musuh kini menjadi teman baru. Ini babak baru dalam geopolitik ekonomi global,” pungkasnya.