Eddy Soeparno: TKDN Bukan Hambatan, Tapi Peluang Bagi Investor

Rabu, 30 April 2025 | 14:01:35 WIB
Eddy Soeparno

Listrik Indonesia | Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menanggapi kebijakan terbaru Amerika Serikat yang berencana menaikkan tarif impor, termasuk produk dari Indonesia, dari 32% menjadi 47%. Menurut Eddy, langkah ini harus disikapi dengan kepala dingin dan strategi yang matang demi menjaga kepentingan nasional.

“Kita harus lihat ini dari dua sisi: soal defisit perdagangan dan hambatan dagang yang muncul," ujar Eddy dalam pernyataannya. Ia menjelaskan, defisit dagang antara Indonesia dan Amerika sebenarnya adalah persoalan angka yang bisa diatur, seperti dengan meningkatkan impor barang dari AS, baik berupa barang modal maupun energi.

Namun, menurutnya, yang lebih krusial adalah persoalan hambatan perdagangan. Salah satunya terkait aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang kerap disorot sebagai kendala oleh negara mitra. Eddy menegaskan bahwa kebijakan TKDN justru penting untuk mendorong industrialisasi nasional dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

"Kita harus jelaskan bahwa TKDN ini untuk kepentingan kita, untuk mengangkat nilai tambah dan menyerap tenaga kerja. Kalau ada investasi asing yang masuk dan mematuhi TKDN, harusnya itu kita beri insentif, bukan malah dianggap sebagai barrier," tegas Eddy.

Selain itu, ia juga menyoroti isu sistem pembayaran digital yang belakangan ramai dibahas, seperti Qris yang disebut-sebut menjadi fokus AS dalam negosiasi. Eddy menilai, sistem pembayaran dalam negeri ini justru memudahkan masyarakat dan membuka persaingan sehat dengan layanan asing seperti Visa atau Mastercard.

"Kuncinya adalah kita buka persaingan yang adil. Semua pemain bisa masuk dan berkompetisi secara fair. Dengan begitu, masyarakat diuntungkan karena biaya jadi lebih efisien," jelasnya dalam siaran dialognya yang tayang Rabu (30/4/2025). 

Menanggapi rencana pemerintah Indonesia untuk menambah impor energi dari Amerika sebagai langkah menyeimbangkan neraca dagang, Eddy mengingatkan agar kebijakan tersebut dihitung matang. Ia menegaskan bahwa konsep "perdagangan yang adil" menurut AS sering kali hanya berfokus pada barang, padahal jasa seperti teknologi, keuangan, hingga langganan software juga merupakan ekspor besar Amerika.

“Kalau mau bicara fair trade, ya harus hitung juga jasa-jasa yang mereka jual ke kita. Misalnya, kita bayar langganan software, nonton Netflix, itu semua jasa yang diperdagangkan," ujarnya.

Eddy menambahkan, kontribusi ekspor Indonesia ke AS sebenarnya hanya sekitar 10-12 persen dari total ekspor nasional. Meski begitu, hubungan dagang dengan AS tetap penting karena ada aspek politik yang harus dijaga.

Ke depan, Eddy menyarankan agar Indonesia tidak sekadar meningkatkan pembelian barang dari Amerika, tetapi juga mengajak AS untuk berinvestasi di dalam negeri.

“Jangan hanya beli lebih banyak barang. Kita juga harus dorong agar investasi mereka masuk ke Indonesia. Jadi ada timbal balik yang jelas, bukan sekadar impor saja,” tuturnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia masih sangat tergantung pada impor energi, seperti minyak mentah, LPG, diesel, hingga minyak tanah, meski negara ini kaya sumber energi. Oleh karena itu, strategi impor pun perlu mempertimbangkan aspek biaya logistik dan kebutuhan teknologi yang lebih tepat guna.

"Kalau memang transportasi minyak dari AS mahal, mungkin kita lebih masuk akal beli teknologi atau alat yang memang canggih dari mereka. Itu lebih bermanfaat buat kita," pungkasnya.

Tags

Terkini