Listrik Indonesia | Kebijakan Pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) menuai kritik keras dari Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. Menurutnya, langkah ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak taat aturan dan cenderung sembarangan dalam mengelola sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal tersebut ia ungkapkan dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Rabu (05/06/2024).
Mulyanto mengungkapkan bahwa Pemerintah semakin hari semakin ngawur dalam mengelola sektor ESDM. Ia menuding Pemerintah seenaknya melanggar peraturan dengan menafsirkan UU Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) sesuai keinginan sendiri.
"Coba itu Pak Bahlil (Menteri Investasi) bagi-bagi IUPK untuk ormas. Padahal, kalau kita baca seksama UU Minerba, izin pertambangan itu diajukan badan usaha paling tidak koperasi. Pemerintah akal-akalan mengatur norma bahwa badan usaha yang sahamnya dimiliki ormas secara mayoritas. Itu kan norma baru yang tidak ada dalam UU," katanya.
Ia menekankan bahwa sesuai ketentuan UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), IUPK seharusnya diprioritaskan untuk BUMN/BUMD, bukan untuk badan usaha swasta, apalagi ormas.
"Yang luar biasa lagi, Ormas akan diprioritaskan untuk mendapatkan IUPK. Padahal Kalau kita baca undang-undang, yang namanya prioritas tegas-tegas itu diberikan kepada BUMN/BUMD. Selain lembaga-lembaga tersebut IUPK diberikan melalui proses lelang," ujarnya.
Mulyanto juga mengkritik Pemerintah yang seharusnya fokus pada permasalahan utama di sektor ESDM, seperti target lifting minyak dalam negeri yang semakin jauh dari Long Term Plan (LTP) 1 juta barel minyak per hari pada tahun 2030. Ia menilai, Pemerintah terkesan tidak mendukung sektor ini atau setengah hati, mengingat kondisi makro industri migas yang tidak kondusif.
“Jadi jangan heran kalau lifting minyak ini terus merosot baik target tahunannya, maupun realisasinya. Boro-boro mendekati 1 juta barel per hari. Ini jadi halusinasi," pungkasnya.
Menurut Mulyanto, Kondisi makro industri migas semakin terpuruk karena berbagai faktor seperti masifnya gerakan energi baru terbarukan (EBT), anjloknya investasi, penurunan alami produksi, hengkangnya pengusaha asing, serta kelembagaan SKK Migas yang dinilai tidak memadai.