Listrik Indonesia | Ratusan warga dari lima desa di Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, menggelar aksi unjuk rasa di depan gerbang PLTU 2 Kanci pada Rabu (6/11/2024). Aksi ini berlangsung di Jalan Pantura dan bertujuan menuntut ganti rugi atas tanah yang kini masuk dalam area proyek PLTU tersebut.
Aksi yang dimotori oleh warga dan didukung oleh organisasi kemasyarakatan Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB) ini mencuatkan permasalahan lama antara masyarakat dan pihak PLTU. Kuasa hukum warga, Insank Nasrudin, menjelaskan bahwa mediasi yang telah digelar bersama pihak PLTU, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pihak terkait lainnya masih belum menghasilkan solusi konkret.
Salah satu titik sengkarut dalam kasus ini adalah keaslian sertifikat tanah yang dimiliki warga. Meski sertifikat tersebut diterbitkan langsung oleh BPN, namun BPN masih menyoroti autentikasinya. Dalam pertemuan terbaru, pihak BPN menyatakan akan melakukan verifikasi lebih lanjut. Namun, menurut Insank, langkah ini justru memperlihatkan ketidakseriusan pihak BPN dalam menangani persoalan ini. “Ada dua sertifikat yang jelas merupakan produk mereka, tapi masih perlu pengecekan fisik. Ini menjadi ironi,” ujarnya.
Lebih jauh, Insank menambahkan adanya dugaan praktik mafia tanah yang turut memperumit kasus ini. Ia mencurigai adanya kompromi yang melibatkan oknum-oknum di beberapa institusi, sehingga proses penyelesaian sengketa tanah menjadi semakin berlarut-larut. “Kami menduga ada permainan kompromi di antara oknum-oknum institusi terkait,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Komunikasi Cirebon Power, Yuda Panjaitan, menyampaikan bahwa PLTU 2 Cirebon dibangun di atas lahan negara yang dikelola melalui kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut Yuda, perusahaan hanya bertindak sebagai penyewa lahan negara tersebut untuk proyek pembangunan pembangkit listrik.
“Kami berpegang pada dokumen resmi negara sebagai dasar dalam membangun pembangkit ini sejak awal,” kata Yuda, Rabu (6/11).
Ia menguraikan bahwa dari total lahan seluas 195 hektare yang digunakan, sebagian besar dimiliki KLHK, sedangkan perusahaan hanya memiliki sekitar 10 hektare. Yuda juga menekankan bahwa klaim warga yang diwakili oleh organisasi masyarakat perlu diverifikasi lebih lanjut untuk memastikan lokasi lahan yang dipermasalahkan.
“Gugatan terhadap lahan milik KLHK sebenarnya lebih tepat jika dialamatkan ke kementerian, karena kami di sini hanya menyewa lahan negara,” tegasnya.
Yuda menambahkan bahwa proses mediasi yang telah dilakukan selama ini berjalan cukup baik dengan adanya pembahasan seputar klaim dari beberapa warga yang diwakili oleh ormas.
Kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria yang melibatkan masyarakat kecil dengan proyek-proyek besar. Tanah yang semula menjadi sumber penghidupan warga kini menjadi objek sengketa di tengah ruwetnya birokrasi dan kemungkinan permainan oknum.
.jpg)
