Listrik Indonesia | Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan selama rentang tahun 2000 hingga 2024 terdapat gap harga yang luar biasa pada komoditas nikel dalam negeri dibanding pasar internasional. Adanya perbedaan harga ini disebut penerimaan negara hilang sebesar USD 6,3 Miliar dalam kurun waktu tersebut.
”Ada gap yang luar biasa, ini mungkin kalau ditunjukin ke Kementerian Keuangan, itu akan nangis, lanjut berikutnya, itulah gapnya. Berapa potensi penerimaan, penerimaan negara yang lost, 6,3 bilion USD ini tahun 2000 sampai November 2024. Tahun-tahun sebelumnya berapa banyak ya?,”ucap Meidy dalam rapat pleno dengan Baleg DPR RI, Rabu (22/1/2025).
Kata Meidy, total penerimaan negara yang hilang itu akibat perbedaan gap harga dengan pasar internastional yang menyentuh 60% lebih. ” Kalau dengan internasional perbedaannya 40-50%, bahkan pernah menembus sampai 60% lebih,” lanjutnya.
Bak jatuh tertimpa tangga, sudah harga terlampau jauh, para pengusaha nikel juga dibebani biaya royalti sebesar 10% ke negara.
”Sebenarnya ini kami lagi tertimpah gundah-gulana Bapak-Ibu. Kenapa? Di awal tahun kami dibuka dengan PPN 12% yang sangat berdampak kepada pertambangan.Kenapa alat berat itu masuk dalam barang mewah yang akhirnya harga alat berat itu sudah naik. Minggu kedua di Januari kami didapat lagi dengan B40. Mau gak mau kami kos produksi bertambah,” tutur Meidy.
Belum lagi, soal aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) yang direncanakan berubah, dari 30% dengan lama dana mengendap 3 bulan, menjadi 100% dalam jangka waktu 1 tahun.
Hal ini pun membawa udara buruk bagi pengusaha nikel. Beberapa RKAB yang ada tidak digarap, karena ditakutkan cost produksi naik tapi tak terserap pasar. Apalagi saat ini smelter yang berproduksi tidak menerima kadar nikel 1,8. Artinya tidak semua tambang nikel produksinya bisa diserap oleh smelter.
”Beberapa tambang yang dapat RKAB gak mau produksi Bapak-Ibu, Kenapa? Karena kos produksi naik, tapi penjualannya makin turun dan smelter-smelter juga sekarang sudah ada yang namanya kita bukan bilang saya bisa menjual kadar 1,8,tapi kadang-kadang 1,8 gak diterima lagi. Kenapa? unsur silika-magnesiumnya rasionya itu banyak yang gak compatible. (8:08) Jadi gak semua tambang nikel itu bisa dimakan oleh smelter,” tandas Meidy.
Dengan kondisi tersebut, selaku asosiasi yang mengurus para pelaku usaha nikel di RI, Meidy berharap ini bisa dipertimbangkan dan dicari jalan keluarnya, termasuk mengkaji kembali berbagai regulasi yang dikenakan pada komoditas tambang khususnya nikel.(KDR)
