Inovasi ITS: Limbah Plastik Diolah Jadi Bahan Bakar

Inovasi ITS: Limbah Plastik Diolah Jadi Bahan Bakar
Prof. Dr. Hendro Juwono

Listrik Indonesia | Lonjakan penggunaan plastik yang kian mengkhawatirkan mendorong Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui penelitian terbarunya menawarkan solusi inovatif: mengubah limbah plastik menjadi biofuel bernilai tinggi. Prof. Dr. Hendro Juwono, MSi, Guru Besar ke-212 ITS yang baru dikukuhkan, berhasil menciptakan metode degradasi plastik dengan biomassa untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan. Penelitian ini tidak hanya menjawab tantangan polusi plastik global, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan energi nasional. 

Polimer Sintetis vs Alami: Akar Masalah Sampah Plastik
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Hendro menjelaskan bahwa plastik sebagai turunan polimer sintetis memiliki struktur kimia mirip bahan bakar fosil, seperti minyak bumi. Berbeda dengan polimer alami (seperti karet dan protein) yang mudah terurai, polimer sintetis seperti polietilen dan polipropilen membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terdegradasi. “Inilah yang membuat sampah plastik menjadi ancaman serius bagi ekosistem,” tegas profesor dari Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS tersebut dikutip dalam situs ITS.

Pirolisis: Teknologi Kunci Konversi Plastik ke Bahan Bakar
Melalui metode pirolisis—proses pemanasan tanpa oksigen—limbah plastik diurai menjadi senyawa hidrokarbon. Hasil uji laboratorium menunjukkan angka Research Octane Number (RON) biofuel dari plastik mencapai 98-102, lebih tinggi dibandingkan premium (RON 88) atau pertamax (RON 92). “Ini membuktikan kualitas energi yang dihasilkan sangat kompetitif,” papar Hendro. 

Integrasi Biomassa: Efisiensi Suhu dan Biaya Produksi
Meski menjanjikan, proses pirolisis plastik murni memerlukan suhu 400°C yang boros energi. Di sinilah peran biomassa seperti minyak nyamplung, minyak jelantah (WCO), dan Crude Palm Oil (CPO) masuk. Dengan mencampurkan 30-50% biomassa, suhu yang dibutuhkan turun drastis ke 300°C. “Biomassa tidak hanya menekan biaya listrik, tetapi juga memperkaya variasi sumber bahan baku terbarukan,” jelas peneliti Departemen Kimia ITS ini. 

Dampak Global: Dukungan Pencapaian SDGs
Penelitian ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 7 (Energi Bersih) dan 12 (Konsumsi Bertanggung Jawab). Menurut Hendro, konversi limbah plastik menjadi biofuel mampu mengurangi 60-70% volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sekaligus menyediakan energi alternatif yang berkelanjutan. “Ini adalah solusi sirkular ekonomi yang menjawab dua masalah sekaligus,” tambahnya. 

Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski telah melalui serangkaian uji laboratorium, Hendro mengakui bahwa penelitian ini memerlukan kolaborasi multisektor untuk implementasi skala industri. “Diperlukan dukungan pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur daur ulang terintegrasi,” ungkapnya. Ke depan, timnya akan fokus pada optimasi katalis untuk mempercepat reaksi dan menekan biaya produksi. 

Dengan inovasi ini, ITS kembali menegaskan perannya sebagai pelopor teknologi hijau di Indonesia. Langkah Prof. Hendro tidak hanya menjadi terobosan akademis, tetapi juga harapan baru bagi masyarakat dalam mengatasi krisis lingkungan dan energi secara simultan.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#konversi sampah plastik

Index

Berita Lainnya

Index