Listrik Indonesia | Dalam dokumen yang bertajuk THE ROLE AND UTILIZATION OF LOW-CARBON HYDROGEN IN NATIONAL DEVELOPMENT PLAN dari Kementerian Bappenas, Pemerintah Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2029, menempatkan pengembangan hidrogen rendah karbon sebagai bagian dari transformasi energi nasional. Fokus utama dalam tahap pertama ini adalah memperkuat fondasi yang mendukung transisi menuju energi bersih.
Dokumen tersebut dipresentasikan pada agenda Global Hidrogen Energi Summit (GHES) 2025 beberapa waktu yang lalu, dikutip pada Kamis (24/04/2025).
Tahap Penguatan Fondasi Transformasi (2025–2029)
Pada tahap awal ini, berbagai kegiatan penting dirancang untuk memperkuat struktur pendukung pengembangan hidrogen rendah karbon di Indonesia. Tujuh poin utama yang menjadi prioritas adalah sebagai berikut:
- Penyusunan Peta Jalan (Roadmap)
- Pengembangan Regulasi
- Penguatan Kelembagaan
- Alih Pengetahuan dan Teknologi
- Persiapan Industri Manufaktur Domestik
- Pengembangan Sumber Daya Manusia
- Proyek Percontohan Hidrogen
Proyek Hidrogen di Indonesia
Indonesia tengah memulai sejumlah inisiatif pengembangan hidrogen rendah karbon melalui kerja sama antara sektor publik dan swasta. Beberapa proyek sedang dikembangkan di berbagai wilayah, dengan pendekatan berbeda namun memiliki tujuan yang sama, yakni mendukung transisi energi nasional.
1. Pembangunan Pembangkit Listrik Hibrida oleh HDF Energy
Perusahaan HDF Energy asal Prancis menggagas investasi untuk pengembangan proyek percontohan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dan hidrogen. Proyek ini mengusung konsep Renewable Power Plant, yang ditujukan sebagai alternatif untuk mengatasi ketidakstabilan pasokan listrik akibat keterbatasan sumber energi terbarukan.
Proyek ini menggabungkan pembangkit listrik terbarukan dengan penyimpanan hidrogen jangka panjang, termasuk elektroliser, tangki hidrogen, sel bahan bakar, serta baterai lithium-ion yang responsif. Tujuannya adalah agar produksi listrik menjadi lebih stabil dan dapat diandalkan.
2. Produksi Hidrogen Hijau dari Pembangkit Listrik Panas Bumi oleh PGE Pertamina
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) mengembangkan produksi hidrogen hijau dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu di Lampung. Proyek ini saat ini berada dalam tahap finalisasi izin lingkungan.
Produksi hidrogen mencapai sekitar 100 kg H? per hari, dan permintaan utama berasal dari unit polipropilena di Kilang RU Plaju serta industri petrokimia lokal. PLTP Ulubelu memiliki kapasitas terpasang sebesar 220 MW, yang memasok sekitar 21% jaringan listrik di wilayah tersebut. Ke depan, proyek ini direncanakan untuk ditingkatkan hingga kapasitas 1 GW.
3. Ekosistem Mobilitas Hidrogen di Jawa Barat
Kerja sama antara Hyundai, GGGI, Pertamina, Kementerian ESDM, dan Bappenas menghasilkan tiga proyek pengembangan ekosistem hidrogen di Jawa Barat:
- Proyek 1: Penelitian dan pengembangan mobilitas hidrogen dalam bentuk kerja sama B2B antara Hyundai dan Pertamina, dengan masa proyek hingga 2029.
- Proyek 2: Inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan oleh Hyundai dan Pemerintah Jawa Barat untuk produksi biogas di Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti, berlangsung hingga 2027.
- Proyek 3: Proyek bantuan pembangunan resmi (ODA) untuk pengembangan biomethane dan kendaraan berbasis hidrogen, juga dijadwalkan selesai pada 2029.
Tantangan dalam Pengembangan Hidrogen Rendah Karbon
- Biaya Produksi yang Masih Tinggi
Biaya produksi hidrogen rendah karbon belum cukup kompetitif dan sangat bergantung pada skala produksi. Semakin besar skala produksi, biaya per unit dapat menurun, tetapi saat ini hal tersebut masih menjadi tantangan. - Infrastruktur yang Belum Memadai
Infrastruktur khusus untuk hidrogen, termasuk penyimpanan dan distribusi, masih kurang atau bahkan belum tersedia. Hal ini diperparah oleh karakteristik hidrogen yang memiliki kepadatan energi rendah, sehingga membutuhkan solusi khusus untuk penyimpanan dan transportasi. - Tingkat Kehilangan Energi yang Signifikan
Proses produksi hidrogen mengalami kehilangan energi sebesar 30-35% dari total energi yang digunakan. Ini menjadi salah satu hambatan dalam meningkatkan efisiensi produksi. - Pasar Hidrogen Hijau yang Belum Terbentuk
Di beberapa negara, pasar hidrogen hijau belum terbentuk dengan jelas. Ketidakpastian permintaan dan penawaran membuat pengembangan hidrogen rendah karbon kurang menarik bagi investor. - Aspek Keberlanjutan yang Belum Jelas
Kriteria keberlanjutan dalam produksi hidrogen rendah karbon belum sepenuhnya terdefinisi, sehingga menimbulkan keraguan mengenai dampak lingkungan dari proses produksinya. - Regulasi yang Belum Spesifik
Belum adanya regulasi khusus yang mengatur produksi dan penggunaan hidrogen rendah karbon menambah ketidakpastian dalam pengembangannya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biaya Produksi Hidrogen Rendah Karbon
- Harga Listrik
Semakin murah harga listrik yang digunakan untuk mengoperasikan elektroliser, semakin rendah biaya produksi hidrogen. Sumber listrik yang terjangkau, seperti energi terbarukan, dapat membantu menekan biaya. - Harga Elektroliser
Biaya elektroliser berpengaruh langsung terhadap biaya produksi hidrogen. Teknologi yang lebih efisien dan produksi massal dapat menurunkan harga per unit elektroliser. - Faktor Kapasitas Elektroliser (Capacity Factor - CF)
CF mengukur seberapa sering elektroliser beroperasi. Semakin tinggi persentase waktu operasi, semakin rendah biaya produksi hidrogen per unit. Pemanfaatan maksimal peralatan menjadi kunci untuk efisiensi biaya.
Peluang Pengembangan Hidrogen Rendah Karbon
Ekspansi Industri Hijau
Pasar global semakin berfokus pada pengembangan industri hijau dan produk ramah lingkungan. Hal ini didorong oleh kebijakan internasional yang mendorong penggunaan energi bersih dan pengurangan emisi karbon. Salah satu contoh kebijakan tersebut adalah Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan oleh Uni Eropa. Mekanisme ini mendorong negara-negara untuk beralih ke praktik produksi yang lebih berkelanjutan, termasuk penggunaan hidrogen rendah karbon.
Dekarbonisasi Sektor Pelayaran Global
Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah menetapkan strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari kapal, termasuk penurunan intensitas karbon dalam pelayaran internasional. Disetujuinya peta jalan baru untuk dekarbonisasi sektor pelayaran global oleh negara-negara anggota IMO membuka peluang pengembangan amonia dan hidrogen rendah karbon sebagai bahan bakar alternatif. Langkah ini dapat mendorong permintaan akan hidrogen hijau dalam skala besar.
Penurunan Biaya Produksi Energi Terbarukan
Hidrogen hijau diproduksi menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan, seperti tenaga angin dan surya. Dalam beberapa tahun terakhir, biaya produksi energi terbarukan terus menurun secara global. Tren ini berpotensi menurunkan biaya produksi hidrogen hijau, membuatnya lebih kompetitif dibandingkan hidrogen yang dihasilkan dari bahan bakar fosil.
