Listrik Indonesia | Di tengah meningkatnya permintaan energi akibat beban kerja AI yang semakin tinggi, hidrogen muncul sebagai salah satu sumber energi alternatif yang menjanjikan. Yuval Bachar, pendiri perusahaan rintisan ECL, baru-baru ini mendemonstrasikan pelepasan tekanan hidrogen di sebuah lahan parkir yang diubah di Silicon Valley. Hidrogen yang sangat dingin ini keluar dari ventilasi dan mampu membekukan molekul air di udara, menunjukkan potensinya sebagai sumber energi bersih.
ECL menggunakan reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen dalam sel bahan bakar untuk menghasilkan panas ekstrem dan uap air, yang kemudian diubah menjadi tenaga. Energi ini disimpan dalam baterai besar seperti Tesla Megapack, yang memberi daya pada pusat data kecil di lokasi tersebut. Pusat data ini, yang dilengkapi dengan 1.600 unit GPU Nvidia, menjadi yang pertama beroperasi di luar jaringan dengan menggunakan hidrogen.
Lonjakan Konsumsi Energi oleh Pusat Data
Pusat data diperkirakan akan menyumbang hingga 12% dari total konsumsi energi AS pada 2028, naik dari kurang dari 4% pada 2022 sebelum kemunculan ChatGPT. Kebutuhan mendesak untuk memberi daya pada AI telah mengganggu tujuan energi terbarukan perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft dan Google. Saat ini, gas alam menjadi sumber energi utama, bahkan memicu kebangkitan kembali pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Kami baru saja mencoba melarang gas alam beberapa bulan lalu, dan kini gas ini menjadi bahan paling panas untuk menghasilkan energi. Kita bahkan mulai menghidupkan kembali pembangkit listrik tenaga batu bara, yang cukup mengejutkan,” ujar Bachar.
Peran DeepSeek dan Kebijakan Energi
Pada Januari 2024, China memperkenalkan DeepSeek, sebuah terobosan efisiensi yang mempertanyakan kebutuhan energi di masa depan. Namun, kebijakan energi pemerintahan Trump diyakini akan berfokus pada minyak dan gas, meskipun sejumlah inisiatif energi bersih masih didorong oleh pemerintah AS.
“Saya rasa DeepSeek tidak akan mengubah banyak hal dalam investasi pusat data yang berpindah dari pendekatan Biden yang mendukung investasi energi terbarukan, ke kebijakan yang akan diterapkan Trump,” kata Bachar.
BACA JUGA: PLN dan Masa Depan Kelistrikan Indonesia: Antara Regulasi, Tantangan, dan Inovasi
Investasi Besar dalam Solusi Energi Baru
Perusahaan-perusahaan besar seperti OpenAI, Microsoft, Amazon, dan Google mulai menginvestasikan dana besar untuk mencari solusi energi domestik yang baru. CEO OpenAI, Sam Altman, menginvestasikan ratusan juta dolar untuk fusi dan fisi nuklir, serta jenis energi surya baru. Amazon mengalokasikan setengah miliar dolar untuk tiga proyek reaktor nuklir kecil, sementara Microsoft memiliki kesepakatan hidrogen hijau dan fusi nuklir. Google juga membantu menjalankan beberapa pusat datanya dengan energi geotermal.
Tantangan dan Solusi Masa Depan
Permintaan energi dari AI diperkirakan akan meningkat 15 hingga 20% setiap tahunnya hingga 2030 di AS. Satu pusat data rata-rata yang membutuhkan sekitar 100 MW daya mengonsumsi energi setara dengan 100.000 rumah tangga AS. Namun, terobosan efisiensi seperti DeepSeek dan investasi dalam teknologi baru seperti reaktor nuklir modular kecil (SMR) menawarkan harapan.
“Semua orang akan melihat apa yang mereka lakukan dan meniru itu. Ini akan menciptakan lebih banyak permintaan lebih cepat,” ujar Bachar.
Dengan meningkatnya kebutuhan energi, perusahaan-perusahaan seperti Helion, Oklo, dan Exowatt berfokus pada fusi nuklir, fisi nuklir, dan baterai termal untuk menyimpan energi surya. Google juga bekerja sama dengan Fervo Energy untuk memanfaatkan energi geotermal di Nevada.
Semua upaya ini bertujuan untuk menciptakan solusi energi yang bersih, terjangkau, dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus berkembang, terutama dari pusat data yang semakin berfokus pada AI. Ke depannya, akan terlihat apakah teknologi energi alternatif ini dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat tanpa membahayakan planet ini.