Listrik Indonesia | Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 milik PT PLN (Persero). Dokumen ini bukan hanya menjadi peta jalan pengembangan sistem kelistrikan nasional, tetapi juga membuka peluang besar bagi investasi di sektor energi.
Dalam RUPTL terbaru ini, pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit listrik sebesar 69,5 Gigawatt (GW) selama sepuluh tahun ke depan. Menariknya, porsi terbesar dari tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT), yakni 42,6 GW atau sekitar 61%. Sisanya terdiri dari 10,3 GW (15%) berbasis sistem penyimpanan energi (storage) dan 16,6 GW (24%) dari pembangkit fosil seperti gas dan batu bara.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Agus Puji, menilai target dalam RUPTL ini cukup ambisius, namun tetap realistis. Menurutnya, perencanaan ini disusun berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang selaras dengan visi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada tahun 2029.
“Kalau melihat kebutuhan pertumbuhan industri dalam negeri yang terus digenjot, maka target dalam RUPTL ini justru sangat logis. Energi harus menjadi modal dasar pembangunan, bukan sekadar komoditas,” ujar Agus dalam siaran diskusinya, dikutip Selasa (3/6/2025).
Agus juga menyoroti pentingnya keterpaduan antara sektor energi dan industri. Menurutnya, tantangan klasik yang sering muncul adalah situasi "ayam dan telur", di mana industri mengeluhkan pasokan energi yang belum memadai, sementara sektor energi menunggu kepastian permintaan (demand) industri.
“Ambisius itu bisa jadi kalau energi tumbuh sendiri tanpa diimbangi pertumbuhan industri. Tapi kalau industri tumbuh pesat tanpa didukung pasokan energi yang cukup, itu juga jadi masalah. Maka harus berjalan seiring,” jelasnya.
Agus menekankan, ekonomi produktif harus menjadi tujuan utama pemanfaatan energi, bukan hanya konsumtif. Saat ini, konsumsi listrik nasional masih di angka 1.400 kWh per kapita, jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia (sekitar 4.000 kWh) dan Singapura (lebih dari 10.000 kWh).
Perlu Dorongan Pemerintah dan Inovasi Industri
Agar ekosistem energi dan industri bisa tumbuh seiring, Agus menilai peran pemerintah masih sangat vital, terutama dalam mendorong pembentukan ekosistem industri yang kuat. Ia menyebut energi bukan lagi semata-mata sebagai komoditas, melainkan sebagai modal dasar pembangunan nasional.
“Itulah mengapa ada KEN, RUKN, dan RUPTL. Semuanya adalah bagian dari intervensi pemerintah untuk menyiapkan fondasi pertumbuhan ekonomi ke depan,” tuturnya.
Namun demikian, Agus juga mengingatkan bahwa pertumbuhan industri tidak bisa hanya bergantung pada sektor perdagangan semata. Diperlukan penguatan industri berbasis nilai tambah yang digerakkan oleh inovasi. Ia mencontohkan pentingnya hasil riset dan invensi dari universitas serta lembaga penelitian yang bisa dikomersialisasikan di berbagai bidang, termasuk energi, pertanian, dan kesehatan.
Menuju 2034: Bauran Energi Terbarukan Naik Jadi 34%
RUPTL 2025–2034 juga menargetkan peningkatan bauran energi terbarukan nasional menjadi 34% pada tahun 2034. Angka ini disebut “melampaui ekspektasi” dan lebih tinggi dibandingkan target yang tercantum dalam RUKN sebelumnya. Agus menyebut pendekatan ini menggunakan metode backcasting—di mana target jangka panjang ditetapkan terlebih dahulu (Net Zero Emission pada 2060), lalu dirancang langkah-langkah strategis untuk mencapainya.
“Kita harus berpikir 5 hingga 10 tahun ke depan, bukan hanya hari ini. Kalau ingin setara dengan negara OECD pada 2060, maka tindakan nyata dimulai hari ini,” kata Agus.
RUPTL terbaru ini diharapkan dapat menjadi instrumen utama dalam mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, dengan energi sebagai penggerak utama dan industri sebagai penopangnya.