Pertamina Buka Suara Soal Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah, Negara Rugi Rp197 Triliun

Pertamina Buka Suara Soal Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah, Negara Rugi Rp197 Triliun
VP Corcom Pertamina, Fajar Djoko Santoso/Dok.KDR

Listrik Indonesia | Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, memberikan tanggapan resmi terkait penetapan tujuh tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada periode 2018 hingga 2023. Kasus ini mencuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang sebagai tersangka, termasuk sejumlah pejabat tinggi Pertamina dan kontraktor kerja sama (K3S).

“Pertamina menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan kewenangan Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugasnya,” ujar Fadjar dalam keterangan resmi kepada wartawan, Selasa (25/02/2025). Ia menegaskan bahwa Pertamina siap bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan berharap proses hukum berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Latar Belakang Kasus Korupsi Rp197 Triliun

Kasus ini bermula dari kebijakan tata kelola minyak mentah yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 2018. Pertamina diwajibkan untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan minyak bumi dalam negeri. Namun, berdasarkan penyidikan Kejaksaan Agung, ditemukan indikasi pengaturan yang merugikan negara.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan bahwa tujuh tersangka telah ditetapkan setelah melalui proses penyidikan yang mendalam. “Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp197 triliun,” ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (24/02/2025).

Tujuh Tersangka yang Ditangkap

Berikut adalah daftar tujuh tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung:

RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga

SDS, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional

YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping

AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional

MKAN, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa

DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim

GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Ketujuh tersangka telah menjalani pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan sehat. Mereka akan menjalani masa penahanan selama 20 hari terhitung sejak 24 Februari 2025.

Modus Operandi Korupsi

Kasus ini melibatkan pengaturan dalam proses pengadaan minyak mentah dan produk kilang. Tersangka RS, SDS, dan AP diduga melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir (OH) untuk menurunkan produksi kilang dalam negeri. Akibatnya, produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya, dan Pertamina terpaksa mengimpor minyak mentah serta produk kilang.

“Produksi minyak mentah oleh K3S sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi spesifikasi teknis dan nilai ekonomis, padahal faktanya minyak tersebut masih dapat diolah,” jelas Abdul Qohar. Penolakan ini menjadi dasar ekspor minyak mentah Indonesia ke luar negeri, sementara kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Pengaturan Impor dan Markup Harga

Kejaksaan Agung juga menemukan adanya pengaturan dalam proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Tersangka SDS, AP, RS, dan YF diduga bersekongkol dengan broker minyak, yaitu MKAN, DW, dan GRJ, untuk memenangkan tender secara melawan hukum. Selain itu, terjadi markup harga pengiriman (shipping) yang dilakukan oleh PT Pertamina International Shipping, mengakibatkan negara menanggung biaya tambahan sebesar 13-15%.

“Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping diduga melakukan markup kontrak pengiriman, sementara MKAN mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” papar Abdul Qohar.

Dampak pada Harga Bahan Bakar

Kebijakan impor minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum ini berdampak signifikan pada harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Komponen harga dasar yang digunakan untuk menetapkan Harga Indeks Pasar (HIP) menjadi lebih tinggi, sehingga pemerintah harus memberikan kompensasi dan subsidi BBM melalui APBN.

“Kerugian negara sebesar Rp197 triliun berasal dari berbagai komponen, termasuk kerugian ekspor minyak mentah, impor minyak mentah dan BBM melalui broker, serta pemberian subsidi yang lebih besar akibat harga minyak yang tinggi,” ungkap Abdul Qohar.

Kasus ini telah melanggar Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3, dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Tindak Lanjut dan Implikasi

Penetapan tersangka ini menjadi sorotan publik, mengingat besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Masyarakat berharap proses hukum dapat berjalan transparan dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di sektor energi. Sementara itu, Pertamina diharapkan dapat memperbaiki sistem tata kelola minyak mentah dan produk kilang untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.(KDR)

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Kasus Tata Kelola Minyak

Index

Berita Lainnya

Index