Listrik Indonesia | PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) terus menegaskan komitmennya terhadap kepatuhan regulasi dalam pengadaan energi primer. Namun, dalam praktiknya, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa kerap menjadi tantangan bagi perusahaan pelat merah, terutama di sektor energi yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian nasional.
Membangun Sinergi, Menjaga Kepatuhan
Direktur Utama PLN EPI, Iwan Agung Firstantara, menekankan bahwa setiap proses pengadaan harus berlandaskan aturan yang berlaku. Namun, kepatuhan regulasi tidak hanya menjadi tanggung jawab perusahaan semata, melainkan juga seluruh pegawai yang terlibat dalam rantai pengadaan.
"PLN EPI memastikan setiap proses pengadaan di PLN EPI mematuhi peraturan dan kebijakan yang berlaku," ujar Iwan. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya sinergi internal untuk memastikan bahwa standar etika dan tata kelola benar-benar diterapkan, bukan sekadar formalitas administratif.
Sebagai langkah konkret, PLN EPI mengadakan forum diskusi hukum bertajuk “Kolaborasi Fungsi Hukum Dalam Penyediaan Energi Primer” secara hybrid pada Jumat (28/2). Forum ini menghadirkan DR. Ir. Roni Dwi Susanto, M.Si., Inspektur Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan sekaligus mantan Kepala LKPP periode 2019–2021, yang memiliki pengalaman luas dalam kebijakan pengadaan di sektor publik.
Pengadaan yang Bersih: Antara Ideal dan Realitas
Dalam paparannya, Roni menyoroti pentingnya prinsip hukum yang kuat dalam setiap tahapan pengadaan. Menurutnya, tantangan terbesar bagi BUMN bukan hanya memastikan kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga menegakkan transparansi di tengah kompleksitas birokrasi dan potensi konflik kepentingan.
“Pengadaan barang dan jasa yang sesuai aturan tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap perusahaan. Hal ini pada akhirnya berdampak pada keberlanjutan dan kemajuan sektor energi di Indonesia,” jelas Roni.
Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana prinsip ini dapat diterapkan secara konsisten? Kasus-kasus penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa di berbagai institusi BUMN menunjukkan bahwa kepatuhan tidak cukup hanya dengan regulasi yang ketat. Diperlukan sistem pengawasan yang kuat serta keberanian dalam menindak pelanggaran, terutama jika melibatkan oknum di dalam perusahaan sendiri.
Menolak Praktik Korupsi dengan Prinsip “5 No”
Dalam sesi diskusi yang berlangsung interaktif, Roni kembali menegaskan bahwa integritas perusahaan harus dijaga dengan menolak segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ia memperkenalkan prinsip "5 No", yakni:
• No Bribery – Tidak menerima atau memberi suap.
• No Kickback – Tidak menerima komisi ilegal dari vendor.
• No Gift – Tidak menerima hadiah yang dapat memengaruhi keputusan bisnis.
• No Luxurious Hospitality – Tidak menerima jamuan atau fasilitas mewah dari pihak berkepentingan.
• No Luxurious Lifestyle – Menjauhi gaya hidup mewah yang tidak sejalan dengan nilai integritas.
Prinsip ini tentu menjadi pedoman ideal, tetapi apakah dapat diterapkan sepenuhnya di lingkungan bisnis yang kerap diwarnai kepentingan politis dan ekonomi? Komitmen seperti ini membutuhkan dukungan dari seluruh lini perusahaan serta pengawasan eksternal yang lebih ketat agar tidak sekadar menjadi jargon tanpa implementasi nyata.
Kegiatan ini mencerminkan upaya PLN EPI untuk meningkatkan kepatuhan dalam pengadaan barang dan jasa. Namun, tantangan terbesar bukan hanya membangun sistem yang bersih, tetapi juga memastikan bahwa sistem tersebut tidak dapat ditembus oleh kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik.
Ke depan, konsistensi dalam menerapkan aturan serta ketegasan dalam menindak pelanggaran akan menjadi faktor kunci apakah PLN EPI dapat benar-benar menjadi model perusahaan penyedia energi primer yang bersih dan transparan di kawasan Asia Tenggara.
