Listrik Indonesia | Upaya pemerintah mengubah batu bara menjadi bahan bakar alternatif pengganti LPG 3 kilogram melalui proyek Dimethyl Ether (DME) kembali menuai sorotan. Proyek yang digadang-gadang menjadi simbol hilirisasi batu bara nasional itu dinilai belum layak secara ekonomi.
Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Pati Jaya, menilai proyek yang dijalankan oleh PT Bukit Asam (PTBA) bersama Air Product dan PT Pertamina (Persero) tersebut gagal bersaing dengan harga LPG impor yang jauh lebih murah.
“Biaya investasi dan teknologi dari Air Product saja sudah mencapai 48 persen. Belum lagi biaya pengolahan dan distribusi, sehingga harga pokok produksi DME tembus lebih dari 800 dolar AS per ton. Padahal, harga LPG hanya sekitar 400 dolar per ton,” ujar Bambang dalam diskusi panel Minerba Convex 2025, Rabu (15/10/2025).
Menurutnya, tingginya biaya produksi menjadi penghambat utama bagi keberlanjutan proyek DME yang diharapkan dapat menekan impor LPG. “DME sebenarnya bisa tetap dijalankan, asal kita ubah skemanya menjadi lebih efisien, baik dari sisi teknologi maupun pembiayaan,” tambahnya.
Bambang juga menekankan bahwa proyek hilirisasi tidak seharusnya hanya dijalankan untuk memenuhi syarat perpanjangan konsesi tambang, melainkan harus memberikan keuntungan nyata bagi pemerintah dan investor. “Kalau bisa menghadirkan skema yang lebih ringan dan efisien, pengembangan DME akan lebih menjanjikan,” tuturnya.
Proyek Masih Tahap Kajian, Investasi Capai Rp164 Triliun
Berdasarkan dokumen penyerahan 18 proyek prioritas hilirisasi yang disampaikan oleh Ketua Satgas Hilirisasi Bahlil Lahadalia kepada Ketua BPI Danantara, terdapat enam proyek pengolahan batu bara menjadi DME yang akan dikembangkan. Lokasinya tersebar di Kalimantan dan Sumatera Selatan, yakni di Bulungan, Kutai Timur, dan Kota Baru (Kalimantan), serta Muara Enim, PALI, dan Banyuasin (Sumatera Selatan).
Total nilai investasinya mencapai Rp164 triliun. Namun, hingga kini proyek tersebut masih dalam tahap feasibility study (FS). “Pra-FS sudah selesai, dan FS-nya sedang dikerjakan oleh Danantara sampai tuntas,” ujar Bahlil.
Defisit LPG Masih Lebar
Bahlil menegaskan pentingnya proyek DME mengingat ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG yang masih sangat besar. “Konsumsi LPG nasional sudah mencapai 8,6 juta ton per tahun, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya sekitar 1,3 juta ton. Akibatnya, kita masih harus impor sekitar 6,5 hingga 7 juta ton setiap tahun,” paparnya.
Menurutnya, pasokan gas alam sebagai bahan baku LPG di Indonesia terbatas. Karena itu, batu bara berkalori rendah dinilai bisa menjadi alternatif bahan baku untuk memproduksi DME. “Gas untuk bahan baku LPG di dalam negeri tidak banyak, jadi kita dorong pemanfaatan batu bara kalori rendah untuk DME,” ujarnya.
Namun, tantangan besar masih menghadang dari sisi pendanaan dan minat investor. Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan, menyebut hingga saat ini belum ada investor global yang secara jelas berkomitmen masuk ke proyek DME di Indonesia.
“Untuk DME, sejauh ini kami belum mendengar ada perusahaan luar negeri yang secara konkret menyatakan akan berinvestasi di proyek ini,” katanya dalam forum The 3rd IICS di Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Dengan berbagai hambatan tersebut, masa depan hilirisasi batu bara ke DME masih menghadapi ujian berat. Tanpa terobosan efisiensi teknologi dan dukungan investasi baru, upaya mengurangi impor LPG lewat DME berisiko kembali tertahan di tahap kajian.
.jpg)
