Listrik Indonesia | Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menegaskan pentingnya kajian ilmiah yang mendalam dalam penerapan kebijakan pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Sugeng dalam wawancara bersama Parlementaria di Jakarta, Jumat (17/10/2025). Ia menilai, kebijakan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan berbasis riset karena menyangkut kepentingan publik serta sektor strategis nasional.
“Karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan banyak pemangku kepentingan, pemanfaatan etanol sebagai campuran BBM harus melalui proses yang betul-betul proven, melalui kajian tertentu. Etanol ini memiliki sifat kimia yang spesifik, salah satunya bersifat korosif,” ujar Sugeng.
Menurutnya, sejumlah negara telah berhasil mengembangkan penggunaan bioetanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan. Indonesia juga memiliki potensi besar untuk mengikutinya berkat sumber daya alam yang melimpah di wilayah tropis. Namun, implementasi kebijakan tersebut tetap perlu melalui penelitian dan uji coba menyeluruh untuk menghindari dampak negatif terhadap performa kendaraan maupun infrastruktur energi.
“Pemanfaatan bioetanol ini sebenarnya langkah yang baik, apalagi jika kita melihat dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi dan lingkungan. Tapi harus dikaji betul secara ilmiah agar tidak menimbulkan efek teknis yang tidak diinginkan,” tambahnya.
Sugeng menilai penggunaan bioetanol dapat menjadi strategi penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang selama ini membebani perekonomian nasional. Ia menjelaskan, konsumsi BBM Indonesia saat ini mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, sedangkan produksi dalam negeri hanya sekitar 600 ribu barel per hari.
- Baca Juga Strategi Pemanfaatan BBN Oleh Pemerintah
“Artinya, kita masih mengimpor sekitar satu juta barel per hari, baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk BBM jadi. Ini menjadi beban ekonomi yang terus meningkat setiap tahun dan membebani APBN kita,” jelasnya.
Selain itu, beban subsidi energi nasional juga masih tinggi, mencapai sekitar Rp308 triliun, termasuk untuk listrik, solar, dan LPG 3 kilogram. Dengan penerapan bioetanol hingga 10 persen dalam campuran BBM, Sugeng menilai Indonesia berpotensi mengurangi impor bahan bakar, menekan subsidi energi, serta berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon.
“Kalau 10 persen dari BBM digantikan dengan bioetanol, maka volume impor BBM bisa turun hingga 10 persen. Ini tentu berdampak langsung pada penghematan devisa dan penurunan emisi,” ujarnya.
Sugeng juga menyoroti potensi besar bahan baku bioetanol dari sumber daya lokal seperti tebu, singkong, dan nira aren. Ia menilai, nira aren merupakan bahan baku paling ideal karena kandungan gulanya tinggi dan tidak berdampak terhadap ketahanan pangan nasional.
“Negara tropis seperti Indonesia punya sumber daya yang melimpah. Molase dari tebu bisa digunakan, meskipun perlu diatur agar tidak berebut dengan kebutuhan gula. Selain itu, singkong dan nira aren dengan kadar gula tinggi juga sangat potensial untuk produksi bioetanol,” katanya.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa pengembangan bioetanol harus mempertimbangkan aspek keekonomian agar efisien secara industri. Produksi berskala besar dinilai penting untuk menjamin keberlanjutan dan daya saing sektor ini.
“Produksinya harus dalam skala besar supaya efisien dan tidak merugikan. Pemerintah juga perlu mengarahkan riset dan inovasi untuk menemukan formulasi paling tepat dalam pengolahan dan distribusinya,” lanjutnya.
Lebih jauh, Sugeng menegaskan pentingnya peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam mendukung kebijakan bioetanol melalui riset yang komprehensif. Ia menilai, riset mendalam dan sosialisasi publik sangat dibutuhkan agar masyarakat memahami tujuan kebijakan tersebut.
“Pemerintah melalui lembaga berkompeten seperti BRIN harus melakukan riset dan sosialisasi secara tuntas, agar masyarakat memahami kenapa kita beralih ke bioetanol. Tujuannya jelas untuk menghemat devisa, menekan emisi, dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” tegasnya.
Sugeng menambahkan, DPR RI akan terus mendukung langkah-langkah pemerintah dalam transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan, selama kebijakan tersebut disusun berdasarkan kajian ilmiah yang kuat serta berpihak pada kepentingan nasional.
