Listrik Indonesia | Ajang COP26 di Glasgow, Skotlandia, beberapa waktu lalu, bisa dibilang sebagai obral janji pemerintah dari berbagai negara untuk menekan emisi terkait isu perubahan iklim. Salah satu janji yang diutarakan pemerintah Indonesia saat itu adalah upaya dalam melakukan dekarbonisasi.
Dekarbonisasi juga disebut sebagai salah satu kunci untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diharapkan dapat mengurangi perubahan iklim. Tapi sejatinya, upaya ini harus dilakukan secara nyata yang melibatkan semua pihak, baik dari pemerintah, para pelaku industri, dan tentunya masyarakat pada umumnya.
Meski bukan jalan yang mudah karena membutuhkan investasi yang tak sedikit dan memiliki tegat waktu yang relatif pendek, namun jika mau, pemerintah Indonesia bisa mewujudkannya secara nyata.
Secara umum, dekarbonisasi merupakan sebuah proses mengecilkan atau membuat hilang semua emisi karbon, dengan tujuan untuk mencapai titik terendah emisi. Pendek kata, dekarbonisasi adalah proses penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (green fuel).
Untuk mencapai dekarbonisasi, tentunya bisa dilakukan dengan beragam cara. Seperti memanfaatkan energi terbarukan (EBT) untuk mengganti energi fosil, baik dengan memanfaatkan energi matahari, energi angin, dan penggunaan bahan bakar alternatif (berbasis nabati) atau listrik.
Dekarbonisasi juga bakal melahirkan nilai-nilai ekonomi yang dikonversi ke dalam ekonomi hijau (green economy), dengan harapan tak hanya berdampak bagi ekosistem lingkungan, tapi juga memiliki nilai manfaat untuk masyarakat secara keekonomian.
Secara umum, konsep dekarbonisasi telah hadir saat Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2015. Di sana dibuat kesepakatan dari puluhan negara untuk membatasi pemanasan global jauh di bawah 2 derajat celsius, atau membatasinya paling maksimal di 1,5 derajat celsius. Semua itu harus dilakukan secara cepat, yakni mencapai netralitas karbon (2030) dan emisi bersih total (2050).
Semua upaya itu tentu harus dibarengi dengan peta jalan (roadmap) transisi energi yang komprehensif, sehingga mampu dilakukan oleh semua kalangan secara optimal. Lantas, seperti apa langkah atau upaya transisi energi yang ideal tersebut?
Menjawab kalimat terakhir tadi, tentunya harus dibuat strategi soal transisi energi. Dalam sebuah diskusi daring ''Strategi Transisi Energi dan Dekarbonisasi di Indonesia'' akhir pekan lalu (18/12/2021), anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim, menjelaskan strategi itu bisa diterapkan melalui prinsip ekonomi hijau dan keberlanjutan (sustainability).
Konsep itu, selain mampu mengurasi risiko kerusakan lingkungan, juga tentu berdampak pada kesetaraan sosial masyarakat.
Secara umum, ada skenario yang ia katakan untuk tetap menjaga ketahanan energi nasional melalui koridor ketahanan energi, yakni ketersediaan (availability), aksesibilitas (accessability), keterjangkauan (affordability), dan keberterimaan (acceptability).
Lain itu, faktor-faktor yang menentukan proses dan keberhasilan transisi energi itu menyoroti soal potensi sumber energi yang dimiliki, teknologi yang dimiliki dan dikuasai, kondisi penyediaan energi dan capaian bauran energi--saat ini, dan tentunya kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat.
Sementara, Sekjen DPR RI Indra Iskandar, dalam diskusi yang sama menjelaskan bahwa Indonesia secara aktif terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim dunia. Sektor penting itu adalah sektor energi, melalui pengembangan ekosistem mobil listrik, pemanfaatan EBT, dan industri berbasis energi bersih.
Bahkan Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Barat, Slamet Mulyanto, bilang bahwa tantangan energi saat ini--khususnya di Jawa Barat--menyoroti pembangunan rendah karbon, aspek sosial kemasyarakatan, efisiensi dan penghematan energi, pemanfaatan EBT, infrastruktur, dan tata ruang.
Soal kemajuan pengembangan energi terbarukan yang dilakukan oleh sebuah negara, maka diperlukan analisis data tentang Energy Transition Index (ETI). ETI terbentuk atas tiga elemen performa sistem, yakni keamanan dan akses terhadap pasokan energi, keberlanjutan lingkungan, serta pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
Selain itu, soal kesiapan transisi juga menjadi salah satu indikator, seperti modal dan investasi, struktur sistem energi, serta komitmen dan regulasi. Saat ini, ETI yang menjangkau 115 negara digambarkan dengan skor berskala 0-100 poin.
Dalam laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada April 2021, Swedia menjadi negera terdepan dalam penggunaan EBT, dengan ETI 87 poin. Sementara di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang paling terdepan (ETI 67 poin). Sementara Indonesia masih berada di posisi ke-6 dengan ETI 56 poin, di antara Vietnam (ETI 57) dan Brunei (ETI 54). (*)
.jpg)

