Listrik Indonesia | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa penggunaan gas sebagai jembatan transisi energi dari fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) berpotensi menciptakan tekanan pada harga energi yang diterima masyarakat.
Hal ini disampaikan dalam paparannya di Jakarta pada Kamis (30/01/2025). Menurutnya, meski gas dinilai lebih ramah lingkungan dibandingkan batuu bara, perbedaan biaya produksi yang signifikan antara kedua sumber energi ini menjadi tantangan serius dalam rencana transisi energi Indonesia.
Bahlil menjelaskan, untuk menghasilkan 1 gigawatt listrik, dibutuhkan 25 kargo gas. Jika proyeksi kebutuhan listrik mencapai 20 gigawatt hingga 2040, maka total kargo yang diperlukan adalah 500 kargo. Secara finansial, biaya ini setara dengan 2.600 triliun rupiah, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan penggunaan batu bara.
“Selisih biaya gas dan batuu bara sangat besar. Jika transisi ke gas dipaksakan tanpa pertimbangan matang, beban ekonomi akan jatuh ke masyarakat,” tegasnya.
Selain masalah biaya, Bahlil mengkhawatirkan rencana pemanfaatan gas untuk pembangkit listrik akan mengganggu fokus pemerintah dalam pengembangan hilirisasi industri. Pasalnya, proyeksi kebutuhan gas sebesar 20 gigawatt tersebut diprediksi akan menyerap hampir seluruh pasokan gas nasional untuk kebutuhan PT PLN (Persero).
“Jika gas habis dibakar untuk listrik, bahan baku hilirisasi industri seperti petrokimia atau pupuk akan kekurangan pasokan. Ini bisa menghambat pertumbuhan sektor manufaktur,” ujarnya.
Ia menegaskan, pemerintah perlu memprioritaskan alokasi gas untuk industri yang bernilai tambah tinggi, bukan sekadar pembangkit listrik. Tanpa strategi ini, Indonesia berisiko kehilangan peluang meningkatkan nilai ekonomi dari sumber daya alamnya.
Pelajaran dari India dan China: Blending Energi Fosil-EBT
Baru-baru ini, Bahlil mengikuti kunjungan kerja Presiden Prabowo ke India. Dari sana, ia mengambil pelajaran penting tentang pendekatan transisi energi yang dilakukan negara dengan emisi karbon tertinggi ketiga di dunia tersebut. India, meski berkomitmen pada energi hijau, tetap menerapkan strategi blending atau pencampuran antara energi fosil (seperti batuu bara) dan EBT (matahari, angin) dalam kebijakan energinya.
“India dan China tidak serta-merta meninggalkan batu bara. Mereka tetap memanfaatkannya sambil bertahap meningkatkan porsi EBT. Ini dilakukan karena anggaran negara harus dialokasikan untuk prioritas lain, seperti pengentasan kemiskinan dan infrastruktur,” jelas Bahlil. Menurutnya, meski polusi di India lebih tinggi, kebijakan transisi energi mereka realistis dengan mempertimbangkan kapasitas ekonomi.
Pernyataan Bahlil ini menggarisbawahi pentingnya menyeimbangkan target transisi energi dengan kondisi riil Indonesia. Meski komitmen global menuntut pengurangan emisi, langkah menuju EBT harus memperhitungkan dampak ekonomi, termasuk kenaikan tarif listrik dan keterbatasan pasokan gas untuk industri strategis.
Pemerintah, menurutnya, perlu merancang skema transisi yang tidak membebani APBN maupun masyarakat. Blending energi ala India-Cina bisa menjadi referensi, di mana batuu bara tetap dimanfaatkan sambil perlahan meningkatkan investasi di sektor EBT. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga stabilitas harga energi sekaligus memastikan industri hilir tetap bergerak.(KDR)
