Listrik Indonesia | Nuklir kini masuk lagi ke dalam wacana transisi energi nasional. Tapi pertanyaannya: apakah energi nuklir ini bakal jadi kuda hitam penyelamat tak terduga untuk capai target Net Zero Emission 2060? Atau justru jadi kuda Troya tampak menjanjikan, tapi menyimpan risiko besar di baliknya?
Dr. Ir. Herman Darnel Ibrahim, M.Sc, IPU, ASEAN Eng — pakar energi dan ketenagalistrikan yang akrab disapa HDI menyampaikan bahwa realisasi energi terbarukan selama 10 tahun terakhir hanya meningkat sekitar 0,3 persen per tahun. Pernyataan tersebut disampaikan HDI dalam siaran langsung Investor Market Today, Senin (26/5/2025).
Lantas, apakah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bisa jadi solusi? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Urgensi PLTN di Tengah Transisi Energi
Menurut HDI, bagi pihak yang mendorong masuknya PLTN, tujuannya jelas: mengejar target energi bersih dan diversifikasi pasokan energi. Tanpa PLTN, beban listrik nasional di 2060 yang diperkirakan menembus 2000 TWh per tahun bisa jadi sangat bergantung pada energi surya saja. Sementara itu, kontribusi maksimum dari PLTA dan panas bumi diperkirakan hanya 500 TWh.
Namun, ia mengingatkan, “Dengan kondisi saat ini, membangun PLTN pun tak serta merta mempercepat capaian EBT. Kesiapan kita masih minim.”
Infrastruktur Belum Siap, Roadmap Belum Ada
HDI menjelaskan bahwa dari sisi regulasi, SDM, hingga infrastruktur, Indonesia masih jauh dari siap. Ketentuan IAEA mengharuskan pembentukan NEPIO (Nuclear Energy Programme Implementing Organization) sebagai badan pelaksana program nuklir, namun hingga kini NEPIO belum terbentuk.
“SDM untuk PLTN perlu disiapkan 10–15 tahun sebelum reaktor beroperasi. UAE saja sampai kirim ribuan mahasiswanya ke Korea Selatan,” katanya. Selain itu, regulasi yang ada, seperti UU No. 10 Tahun 1997, dinilai tak cukup. Indonesia butuh undang-undang baru khusus PLTN dan berbagai aturan teknis, dari keselamatan hingga penanganan limbah.
HDI secara tegas menyatakan, hingga hari ini belum ada roadmap maupun payung hukum yang memadai untuk mempercepat komersialisasi nuklir di Indonesia. Semua itu seharusnya jadi tugas NEPIO, yang sayangnya masih dalam angan.
“Kalau mau serius masuk ke era PLTN, harus ada kesepakatan politik antara Pemerintah dan DPR, karena isu nuklir ini bisa berdampak sosial dan politik, termasuk ke Pemilu dan Pilpres,” jelasnya.
Salah satu batu sandungan terbesar PLTN adalah ketakutan publik. Menurut HDI, resistensi masyarakat terhadap nuklir hanya bisa diatasi lewat sosialisasi yang intensif dan terbuka.
“Bukan cuma lewat kuesioner, tapi juga forum publik yang menghadirkan pihak pro dan kontra, agar masyarakat benar-benar paham risiko dan manfaat PLTN,” ujarnya.
Peran pemerintah daerah juga penting, terutama dalam hal izin lokasi, penyediaan lahan, dan dukungan sosialisasi ke masyarakat.
Jika Indonesia serius membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), teknologi Small Modular Reactor (SMR) dianggap lebih cocok untuk dikembangkan. SMR adalah reaktor berkapasitas kecil yang sesuai dengan skala kebutuhan energi di Indonesia.
Menurut HDI, pemerintah saat ini mengarah pada pembangunan PLTN skala kecil dengan kapasitas sekitar 250 MW, seperti yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan beberapa pernyataan Kementerian ESDM di berbagai media. Ini menunjukkan bahwa Indonesia berencana menggunakan teknologi SMR.
Namun, hingga saat ini belum ada PLTN SMR komersial yang benar-benar beroperasi. Fakta ini mengindikasikan bahwa meskipun SMR disebut sebagai teknologi masa depan yang lebih aman dan fleksibel, penerapannya secara nyata masih menghadapi banyak tantangan dan belum terbukti secara komersial.
"Proses regulasi yang panjang, pendanaan yang rumit, dan rantai pasok yang belum siap membuat teknologi ini masih dalam tahap wait and see,"terangnya.
Reaktor konvensional umumnya berkapasitas antara 500 hingga 1000 MW. Sementara teknologi SMR yang ditawarkan memiliki skala lebih kecil, dan diklaim lebih aman, lebih murah, serta lebih sesuai dengan kebutuhan sistem kelistrikan Indonesia yang tersebar. Produsen memperkirakan harga listrik dari SMR berada di kisaran USD 7–9 sen per kWh, dibandingkan PLTN konvensional yang bisa mencapai USD 8–14 sen per kWh. Namun angka tersebut belum terbukti secara riil karena hingga kini belum ada SMR yang beroperasi secara komersial.
Selain itu, proyeksi harga itu pun hanya berlaku jika pemerintah memberikan jaminan atas pinjaman dan penyediaan lahan.
Dari sisi investasi, PLTN konvensional termasuk pembangkit dengan biaya pembangunan paling mahal, berkisar antara USD 5000–8000 per MW.
Berdasarkan studi IEA, pembangunan PLTN konvensional bisa menelan biaya hingga USD 9–10 miliar untuk kapasitas 1000 MW. Artinya, untuk membangun PLTN sebesar 3000 MW diperlukan dana sekitar USD 30 miliar atau sekitar Rp500 triliun. Tak hanya itu, data dari World Nuclear Association menunjukkan bahwa hampir seluruh proyek PLTN mengalami keterlambatan, dengan rata-rata pembangunan memakan waktu 117 bulan atau sekitar 9–14 tahun, jauh dari target teoritis 4–5 tahun.
Sementara itu, PLTN SMR diproyeksikan lebih murah, dengan estimasi biaya USD 4–7 juta per MW, atau sekitar USD 700 juta untuk kapasitas 100 MW—belum termasuk biaya lahan.
Dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya seperti PLTS dan PLTB, investasi SMR tetap jauh lebih mahal. Untuk PLTS, investasi hanya sekitar USD 60–150 juta per 100 MW, sedangkan PLTB berkisar USD 120–250 juta per 100 MW. Hal ini mempertegas bahwa dari sisi keekonomian, pengembangan SMR masih menyimpan banyak ketidakpastian dan tantangan.
Dibandingkan Surya dan Angin, PLTN Masih Mahal
PLTN konvensional bisa menyentuh angka USD 9–10 miliar per 1000 MW. Rata-rata pembangunannya pun molor bertahun-tahun.
“PLTS dan PLTB jauh lebih murah. Investasi hanya sekitar USD 60–150 juta per 100 MW, sedangkan PLTB berkisar USD 120–250 juta per 100 MW. Dan yang penting lebih tidak bergantung pada luar negeri,” kata HDI. “Kalau PLTN, kita butuh uranium dari luar, bahkan pengayaan nuklir hampir pasti tak diizinkan di dalam negeri.”
HDI meragukan PLTN sebagai solusi jangka panjang. Menurutnya, PLTS dan PLTB justru harus jadi andalan utama karena lebih murah dan punya multiplier effect lebih besar.
“Kalau PLTN dibangun, itu akan menguras anggaran besar, bisa mengorbankan sektor infrastruktur lainnya. Belum lagi risiko politik dan sosialnya,” tegasnya.
Kalau PLTN dibangun hari ini, menurut HDI, dampaknya belum akan terasa dalam waktu dekat. “Paling cepat bisa operasional di 2040, itu pun kalau semua proses persiapan berjalan mulus. Jadi, untuk sekarang, PLTN belum bisa jadi solusi instan,” ujarnya.
Nuklir, Kuda Hitam Menuju NZE 2060?
HDI menutup dengan menyebut PLTN sebagai “kuda hitam” dalam perjalanan menuju Net Zero Emission 2060. “Kalau semua opsi lain gagal, dan PLTN ternyata murah serta diterima publik, ya bisa jadi andalan. Tapi untuk sekarang, kita harus realistis dan lihat dulu realisasi PLTN pertama,” pungkasnya.
