Listrik Indonesia | PT Pertamina International Shipping (PIS), Subholding Integrated Marine Logistics (SH IML) dari PT Pertamina (Persero), terus menegaskan komitmennya untuk menjadi pionir dalam dekarbonisasi sektor maritim.
Perusahaan menargetkan pencapaian net zero emission (NZE) pada 2050 melalui strategi dua arah: dari sisi penggunaan bahan bakar dan dari aspek layanan kargo ramah lingkungan.
Komitmen PIS selaras dengan sasaran International Maritime Organization (IMO) dan kesepakatan global Paris Agreement dalam menanggulangi perubahan iklim. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Perencanaan Bisnis PIS, Eka Suhendra, dalam forum International Maritime Week (IMW) 2025.
“Secara jangka panjang, kami mengedepankan penggunaan bahan bakar rendah emisi seperti LNG, dan di masa depan bisa beralih ke amonia atau LPG. Armada kami mayoritas sudah menggunakan teknologi dual-fuel. Kami sangat terbuka untuk kolaborasi guna membangun ekosistem bahan bakar alternatif yang mumpuni,” ujar Eka.
Saat ini, lebih dari 50% kapal yang dioperasikan PIS sudah menggunakan biofuel. Enam kapal bahkan telah memanfaatkan LPG dan LNG sebagai bahan bakar alternatif. Selain itu, sebanyak 40 unit kapal telah dilengkapi dengan perangkat hemat energi (energy-saving devices), yang mampu meningkatkan efisiensi bahan bakar sebesar 3–20%.
Langkah efisiensi lainnya mencakup pembatasan daya mesin dan penerapan manajemen pelayaran yang terukur. Semua ini dirancang untuk menekan jejak karbon dari sektor transportasi laut yang dioperasikan perusahaan.
Ekspansi Bisnis Hijau: Dari LNG ke Carbon Capture
Tak hanya memodernisasi armada, PIS juga mengembangkan bisnis kargo ramah lingkungan. Selain memperkuat pasar LNG yang potensinya masih besar, PIS kini menatap peluang baru melalui layanan Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS).
“Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang besar. Pemerintah juga sedang mendorong pemanfaatan potensi ini. Kami melihat peluang bisnis di bidang transportasi, penyimpanan, injeksi, hingga pengelolaan terminal karbon,” tambah Eka.
Namun, transisi menuju nol emisi tentu tidak tanpa hambatan. Dalam sesi panel "Decarbonizing Asia’s Maritime Industry" di IMW 2025, terungkap beberapa tantangan utama yang dihadapi pelaku industri. Mulai dari tingginya biaya investasi, keterbatasan regulasi, kurangnya infrastruktur pendukung, hingga perlunya peningkatan kualitas SDM maritim.
Wakil Ketua INSA, Faty Khusumo, menekankan bahwa meski bahan bakar alternatif semakin beragam, kesiapan regional dalam hal sumber daya masih menjadi perhatian utama.
Sementara itu, Lin Fuquan, Chairman China Classification Society (CCS) sekaligus perwakilan dari Asian Classification Society (ACS), menegaskan bahwa pihaknya mendukung upaya dekarbonisasi melalui berbagai panduan teknis. Termasuk Energy Efficiency Existing Ship Index (EEXI), Carbon Intensity Indicator (CII), dan Ship Energy Efficiency Management Plan (SEEMP) yang disusun demi memudahkan pemahaman dan implementasi regulasi industri perkapalan.
Eka mengakui bahwa percepatan dekarbonisasi membutuhkan kolaborasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan. Sinergi yang kuat diyakini mampu menjadi solusi terhadap berbagai kendala yang dihadapi industri saat ini.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa langkah PIS sejalan dengan misi Pertamina dalam menjaga ketahanan energi nasional, sekaligus mendukung target net zero emission pemerintah.
“Melalui PIS, Pertamina terus memperkuat perannya dalam distribusi energi, tidak hanya untuk kebutuhan domestik, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai kekuatan baru di sektor maritim global,” tegas Fadjar.
