Listrik Indonesia | Pemerintah telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang disebut-sebut sebagai paling hijau sepanjang sejarah. Sebanyak 61% dari total tambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 gigawatt (GW) akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Bahkan, rencana pembangunan Green Super Grid pun digaungkan sebagai tulang punggung pemerataan energi bersih di seluruh Nusantara.
Kalau hanya dengar presentasinya, rasanya seperti Indonesia sudah siap jadi pemimpin transisi energi di Asia. Tapi begitu lihat kenyataan di lapangan mulai dari udara Jakarta yang nyaris tak pernah bebas polusi, sampai dominasi batu bara yang tak kunjung surut pertanyaan besar pun muncul: Apakah transisi energi kita memang sungguh berjalan, atau cuma bagus di atas kertas?
Menurut data terbaru, bauran energi terbarukan Indonesia per Mei 2025 baru menyentuh angka sekitar 13,2%. Padahal targetnya hampir 16%. Sementara itu, batu bara masih menguasai sekitar 67% pasokan listrik nasional.
Apa artinya? Kita memang menambah pembangkit EBT, tapi pada saat yang sama, pembangkit fosil tetap dominan. Bahkan, ada yang masih terus beroperasi meski usia dan teknologinya sudah ketinggalan zaman.
Dan jangan salah, PLTU yang katanya mulai pakai co-firing biomassa, belum tentu benar-benar hijau. Banyak yang cuma mengganti sebagian kecil batubaranya, itu pun pakai limbah pertanian yang distribusinya belum stabil. Secara emisi, dampaknya nyaris tak terasa.
Jadi, Salahnya Di Mana?
Pertama, kita belum punya strategi jelas untuk mengurangi PLTU yang ada. Moratorium proyek baru sih sudah, tapi pembangkit yang lama tetap menyala dan menghasilkan emisi setiap hari. Kedua, proyek EBT tersendat karena berbagai hal seperti izin yang berbelit, pembebasan lahan yang lambat, tarif jual listrik yang belum menarik. Dan ketiga, perhatian kita masih terlalu besar di sisi pasokan. Padahal perubahan energi seharusnya juga menyasar konsumsi: bagaimana masyarakat bisa ikut berperan, misalnya lewat PLTS atap, efisiensi energi, atau gaya hidup rendah karbon.
Terus, Solusinya Apa?
Kalau memang serius ingin transisi, kita harus berani mengambil langkah tidak populer. Misalnya:
- Jadwalkan pensiun dini PLTU yang tua.
- Permudah aturan untuk proyek-proyek EBT, terutama di daerah.
- Buka ruang partisipasi masyarakat jadi produsen energi, bukan cuma konsumen.
- Dan yang paling sederhana tapi sering dilupakan: pasang panel surya di gedung-gedung pemerintah. Beri contoh dulu.
Kita memang sudah punya RUPTL yang “hijau”. Tapi kalau dampaknya belum dirasakan oleh masyarakat misalnya udara bersih, listrik stabil dari energi bersih, atau tarif yang lebih ramah maka semua itu belum cukup.
Transisi energi bukan cuma soal mengganti mesin, tapi soal keberanian mengubah arah kebijakan dan keberpihakan. Jangan sampai, anak cucu kita cuma mewarisi dokumen RUPTL yang indah, tapi tetap hidup di bawah langit berdebu.
.jpg)
