Current Date: Minggu, 02 November 2025

Transisi Energi Tak Bisa Dipaksakan Tanpa Dukungan Dana

Transisi Energi Tak Bisa Dipaksakan Tanpa Dukungan Dana
Gambar ilustrasi pembiayaan transisi energi.

Listrik Indonesia | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan kritik terhadap negara-negara maju yang menuntut Indonesia segera menurunkan emisi karbon tanpa mempertimbangkan aspek pendanaan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang berlangsung di Menara Bank Mega, Jakarta, pada Selasa (28/10/2025).

Menurut Bahlil, proses transisi energi membutuhkan biaya yang besar sehingga tidak adil jika negara berkembang seperti Indonesia dipaksa melaksanakannya tanpa dukungan finansial dari negara maju. “Ada, problemnya biaya tinggi, negara anda sudah maju. Tahun 1950-1960 ketika ditebang hutan kalian apakah ada yang melarang negara-negara lain? Kenapa? Karena mereka anggap capex lebih tinggi soal karbon,” ujarnya.

Bahlil menilai, negara-negara maju seharusnya memberikan dukungan yang proporsional terhadap negara berkembang dalam menghadapi tantangan dekarbonisasi. Ia mengingatkan bahwa negara-negara Barat sebelumnya telah menikmati kemajuan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan, sementara kini negara berkembang justru diminta untuk menanggung beban transisi menuju energi bersih.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia terus berupaya mempercepat transisi energi melalui pengembangan sumber energi terbarukan, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar di tingkat desa. Setiap desa ditargetkan memiliki PLTS dengan kapasitas 1–1,5 gigawatt (GW), dengan total potensi mencapai 80–100 GW di seluruh Indonesia. “Transisi energi arahannya dihitung bagaimana pakai solar panel 80–100 GW. Di India ada US$ 3 sen per kWh. Tim saya udah balik dari sana. Kalau ini ekonomis maka sebagian besar kita dorong pakai solar panel,” kata Bahlil.

Selain PLTS, Presiden Prabowo Subianto juga telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 yang mengatur pengelolaan sampah perkotaan menjadi energi terbarukan berbasis teknologi ramah lingkungan. Dalam regulasi tersebut, harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) diperkirakan mencapai sekitar US$ 20 sen per kWh. “Termasuk regulasi, waste to energy jadi perpres sekarang bisa sampai US$ 20 sen per kWh supaya ekonomis,” ujar Bahlil.

Melalui berbagai langkah tersebut, pemerintah berharap proses transisi energi dapat berjalan secara bertahap dan realistis, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi serta kemampuan nasional. Namun, Bahlil menegaskan bahwa keberhasilan agenda energi bersih tidak akan tercapai tanpa adanya komitmen dan dukungan nyata dari negara-negara maju, terutama dalam bentuk pendanaan dan transfer teknologi.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Transisi Energi

Index

Berita Lainnya

Index