Listrik Indonesia | Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menyampaikan bahwa pihaknya telah memulai pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Gatrik). Pembahasan tersebut berlangsung pada Senin (14/7/2025) di Gedung DPR RI, Jakarta.
Sugeng menjelaskan, pihaknya sudah menerima naskah akademik revisi UU Gatrik dari Badan Keahlian Dewan untuk dibahas secara lebih komprehensif.
“Maka, tadi, karena ini sudah kelanjutan sejak tahun lalu, atau periode lalu ketika kita di Komisi 7, dan tadi sudah tuntas naskah akademiknya, setelah dari tim keahlian Dewan ini melakukan berbagai, apalah, serap pendapat baik dari kalangan akademisi, pelaku, maupun pihak-pihak pemangku kepentingan lain yang berkaitan dengan kelistrikan dan migas,” ujarnya.
Menurut Sugeng, UU Gatrik sebelumnya telah mengalami penyesuaian melalui UU Cipta Kerja (Ciptaker). Namun demikian, penyesuaian tersebut dinilai belum cukup untuk menjawab kebutuhan sektor ketenagalistrikan secara menyeluruh. Oleh sebab itu, DPR tetap melanjutkan pembahasan revisi ini.
Salah satu isu utama dalam revisi UU tersebut adalah jaminan akses listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
“Ingat, listrik bukan lagi barang mewah. Sehingga, hak setiap warga negara untuk bisa mengakses listrik,” tegas Sugeng.
Sugeng menambahkan, untuk menjamin akses tersebut diperlukan pembangunan infrastruktur kelistrikan yang akan menjadi kewajiban negara. Infrastruktur ini bertujuan agar masyarakat bisa mendapatkan akses listrik dari berbagai sumber energi, termasuk energi baru terbarukan (EBT).
“Nah, bahwa pengadaannya itu oleh siapa? Tadi sudah bahwa badan usaha yang bisa menyiapkan kebutuhan ketenagalistrikan itu bisa BUMN, BUMD, maupun koperasi atau swasta,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya penguatan infrastruktur agar tidak ada lagi alasan kekurangan jaringan transmisi listrik di desa-desa. Menurutnya, negara harus hadir, bahkan di wilayah yang sulit dijangkau sekalipun.
“Tida ada lagi suara ketika listrik masuk desa, oh, gak ada transmisinya. Dengan undang-undang itu, mohon maaf, dipaksa negara untuk menyiapkan sejauh apapun. Kalau memang, lagi-lagi tadi, kan, infrastrukturnya berupa apa, kalau itu berupa skater-skater, misalnya pulau, lantas penyedia energinya itu PLN secara ekonomis tidak masuk, biarkanlah ada kreativitas masyarakat setempat sehingga akan hidup, misalnya, mikro hidro dan sebagainya,” kata Sugeng.
Sugeng juga menilai, dengan adanya infrastruktur listrik di wilayah-wilayah yang memiliki potensi EBT, harga listrik dapat lebih kompetitif dibandingkan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Ia menyebut, meskipun batu bara disubsidi negara, tetap saja belum mampu menjangkau seluruh wilayah, termasuk 3T.
“Artinya apa? Tidak fair kalau masyarakat atau kreativitas masyarakat karena ekonominya juga skala ekonominya kecil, lantas dibandingkan dengan harga listriknya PLN. PLN mau beli kalau setidaknya harganya tadi memenuhi kriteria harga PLN, di mana tadi semuanya disubsidi energi primernya,” pungkasnya.
.jpg)
