Listrik Indonesia | Penurunan produksi gas bumi dalam negeri diperkirakan akan berdampak pada pemanfaatan sumber energi lain, terutama gas hasil regasifikasi atau Liquefied Natural Gas (LNG). Chairman Indonesia Gas Society (IGS), Aris Mulya Azof, menyampaikan hal tersebut dalam sebuah diskusi bertajuk Coffee Morning CNBC Indonesia di Jakarta, Senin (19/7/2025).
Menurut Aris, kondisi ini akan membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur biaya. Ia menjelaskan bahwa pergeseran penggunaan gas pipa menuju LNG akan berpengaruh langsung terhadap harga, mengingat infrastruktur yang diperlukan untuk LNG lebih kompleks dibandingkan gas pipa.
Aris mengungkapkan bahwa sebelumnya Indonesia belum terlalu bergantung pada fasilitas seperti liquefaction plant, terminal regasifikasi, maupun transportasi kapal LNG. Namun saat ini, infrastruktur tersebut sudah menjadi bagian penting dalam rantai pasok gas nasional. Oleh sebab itu, menurutnya, harga gas yang lebih mahal akibat peralihan ke LNG merupakan hal yang tidak terhindarkan.
Lebih lanjut, Aris mengingatkan agar pemerintah mempersiapkan langkah antisipatif terkait potensi defisit gas di masa mendatang.
Sementara itu, Kepala SKK Migas Djoko Siswanto membenarkan bahwa saat ini pasokan gas bumi domestik tengah mengalami tekanan. Untuk menanggulangi hal tersebut, pihaknya berencana menempuh skema swap gas agreement guna menjaga kesinambungan pasokan. Ia menyebutkan bahwa perjanjian tersebut akan melibatkan suplai gas dari wilayah Natuna dan Sumatra.
Djoko juga menyoroti bahwa implementasi kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi tujuh sektor industri, yang ditetapkan pada kisaran US$ 6,5-7 per MMBTU, belum sepenuhnya berjalan merata. Ia menekankan bahwa prioritas utama saat ini adalah memastikan ketersediaan pasokan gas terlebih dahulu.
"Ya memang sebagian ada yang HGBT, sebagian tidak kan? As long as gasnya ada dulu. Gasnya ada dulu," ujar Djoko. Ia menambahkan, sejauh ini pasokan gas domestik masih bisa dipenuhi tanpa perlu melakukan impor, meski dengan langkah optimalisasi seperti swap gas.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memperpanjang kebijakan HGBT bagi tujuh sektor industri. Meski demikian, dalam praktiknya, sejumlah pelaku industri mengaku masih membayar harga gas hingga US$ 16,77 per MMBTU.
