Listrik Indonesia | Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS, Mulyanto, mengingatkan pemerintah agar bersikap waspada dalam menyepakati klausul pertukaran data pribadi sebagai salah satu syarat kerja sama dagang dengan Amerika Serikat (AS). Ia menilai ketentuan ini sangat berisiko karena bisa membuka peluang penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Jangan sampai pemerintah begitu saja menerima semua syarat dari AS, termasuk soal penyerahan data pribadi, tanpa memperhatikan lemahnya sistem pengawasan kita,” tegas Anggota DPR RI periode 2019–2024 itu.
Mulyanto khawatir data warga negara Indonesia (WNI) berpotensi bocor atau disalahgunakan oleh lembaga bisnis maupun institusi lain di luar negeri. Ia menambahkan, lemahnya kontrol lintas yurisdiksi dan ketimpangan perlindungan hukum bagi WNI di negara lain menambah besar risiko tersebut.
Perlindungan Data WNI Harus Jadi Prioritas
Mulyanto menekankan, kesepakatan internasional yang berkaitan dengan hak digital masyarakat seharusnya dibahas secara terbuka dan melibatkan pengawasan legislatif. “Eksekutif tidak boleh berjalan sendiri. Publik berhak tahu dan DPR harus memanggil pihak terkait untuk memastikan data pribadi masyarakat benar-benar aman,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa lembaga intelijen Amerika seperti NSA dan FBI memiliki kewenangan mengakses data warga asing melalui Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA 702). Artinya, data WNI yang tersimpan di server perusahaan AS secara sah dapat diakses tanpa izin dari pemerintah Indonesia.
“Belum lagi risiko penyalahgunaan data oleh perusahaan bisnis asing. Uni Eropa saja pada 2020 pernah membatalkan skema perlindungan data dengan AS karena alasan serupa,” jelasnya.
Lebih jauh, Mulyanto menyebut bahwa data strategis WNI bisa dimanfaatkan sebagai alat tekanan politik luar negeri. Ketergantungan pada infrastruktur digital asing, menurutnya, juga menimbulkan risiko besar bagi keamanan nasional, terutama jika terjadi konflik geopolitik.
Ia mendesak pemerintah untuk menunda implementasi klausul transfer data pribadi tersebut hingga ada mekanisme pengawasan lintas negara yang jelas dan setara, yang dibahas secara transparan di parlemen.
“Perlindungan data pribadi bukan sekadar persoalan teknis. Ini menyangkut martabat warga negara, kedaulatan bangsa, dan kendali atas masa depan digital Indonesia. Jangan sampai kita menjadi ‘koloni data’ dari kekuatan digital global,” pungkasnya.
.jpg)
