Listrik Indonesia | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa batu bara tidak bisa serta-merta disebut sebagai energi kotor. Menurutnya, kemajuan teknologi saat ini memungkinkan proses pembakaran batu bara dilakukan dengan lebih ramah lingkungan.
Pernyataan itu disampaikan Bahlil dalam acara Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta, Jumat (10/10/2025). Ia menilai bahwa dengan penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS), emisi dari batu bara bisa ditekan secara signifikan.
“Saya tidak setuju kalau batu bara dianggap energi kotor. Sekarang sudah ada teknologi penangkap karbon atau carbon capture CO? (CCS), yang bisa menyimpan emisi ke lokasi tertentu seperti sumur minyak dan gas,” ujar Bahlil.
Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara yang berada di persimpangan tiga lempeng tektonik besar — Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia — memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, termasuk mineral dan batu bara. Karena itu, pemanfaatannya harus tetap dilakukan secara bijak dan sejalan dengan upaya menuju target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.
“Kita terus mendorong pengembangan energi baru terbarukan, tapi di saat yang sama juga mencari teknologi untuk menangkap emisi CO? dari PLTU. Tujuannya agar listrik yang dihasilkan bisa lebih bersih,” lanjutnya.
Berdasarkan data Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batubara Indonesia per Desember 2024, total sumber daya batu bara nasional mencapai 97,96 miliar ton. Dari jumlah tersebut, 67,33 miliar ton merupakan batu bara kalori rendah, 15,53 miliar ton kalori sedang, dan 15,10 miliar ton kalori tinggi. Adapun total cadangan batu bara yang siap dimanfaatkan mencapai 31,96 miliar ton, terdiri dari 14,42 miliar ton cadangan terkira dan 17,54 miliar ton cadangan terbukti.
Meski begitu, penerapan teknologi CCS masih menuai pro dan kontra. Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, menilai teknologi tersebut belum efisien dan cenderung boros biaya. Ia menyebut, hingga kini CCS baru diterapkan di sekitar 4–5 PLTU di dunia, dengan biaya yang bisa mencapai hingga 12 kali lipat dibandingkan energi terbarukan.
Pandangan senada disampaikan oleh Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) saat itu, Ridha Yasser. Ia menilai penerapan CCS pada PLTU berpotensi menambah beban tarif listrik bagi masyarakat.
“Biaya penangkapan karbon masih sangat mahal. Setiap cerobong PLTU membutuhkan bahan kimia dan teknologi khusus yang harganya tinggi,” ujarnya dalam Focus Group Discussion bertajuk “Pemanfaatan Teknologi CCS Sektor Ketenagalistrikan” di Jakarta, Juli 2024.
Perdebatan soal CCS menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi nasional, keberlanjutan lingkungan, dan keterjangkauan biaya listrik bagi masyarakat.
