Listrik Indonesia | Perubahan iklim semakin mendesak dengan pola cuaca yang berubah cepat dan panas ekstrem. Untuk mengatasi tantangan ini, teknologi perubahan iklim menjadi fokus utama. Ada persaingan untuk mengembangkan teknologi yang dapat menangkap, menghilangkan, dan menyimpan karbon, menciptakan energi terbarukan, dan meningkatkan efisiensi energi.
Mengutip Powermagz, Pemerintahan Biden menetapkan target ambisius, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50-52% di bawah level tahun 2005 pada 2030, mencapai 100% listrik bebas polusi karbon pada 2035, dan mencapai ekonomi dengan nol emisi netto pada 2050. Ini membutuhkan inovasi teknologi yang luar biasa.
Investor di pasar publik dan swasta juga semakin memperhatikan risiko iklim terhadap perusahaan yang mereka investasikan. The U.S. Securities and Exchange Commission (SEC) mengusulkan aturan yang kontroversial untuk memaksa perusahaan mengungkap risiko terkait iklim dan metrik keuangan terkait iklim dalam laporan mereka. Hal ini juga berlaku untuk dana investasi yang berfokus pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Kendati ada penurunan investasi di sektor iklim, ada dorongan dari undang-undang seperti Inflation Reduction Act yang mengalokasikan dana untuk mengatasi perubahan iklim. Startup teknologi iklim semakin berkembang, dan perusahaan modal ventura dan ekuitas swasta aktif mendukung mereka.
Salah satu area menarik adalah pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS) yang membantu mengurangi emisi gas rumah kaca di fasilitas manufaktur. Energi terbarukan, terutama tenaga angin dan surya, tetap mendapat investasi karena kemampuannya terbukti. Penyimpanan energi dan baterai juga menarik investor dengan potensi untuk menjaga kestabilan jaringan listrik.
Meskipun tantangan ada, minat investor di teknologi perubahan iklim tetap kuat. Dengan regulasi yang lebih ketat dan tekanan sosial untuk tindakan lebih lanjut, harapan investasi dalam upaya ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi baru.**
GoogleNews
