Janggal, Pagar Laut untuk Nelayan atau Reklamasi?

Janggal, Pagar Laut untuk Nelayan atau Reklamasi?
Pagar Laut Jadi Polemik Baru

Listrik Indonesia | Pernyataan kelompok Jaringan Rakyat Nasional (JRN) yang mengklaim sebagai pemilik sekaligus pendonor pembangunan pagar laut sepanjang 30 km menuai kritik dari Mulyanto, Pembina Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI). Menurutnya, klaim ini tidak masuk akal baik dari segi tujuan maupun pendanaan.

Mulyanto menilai alasan bahwa pagar laut tersebut berfungsi sebagai pemecah ombak untuk mencegah abrasi pantai sangat tidak logis. “Penjelasan ini irasional. Jika publik mempercayainya, ilmuwan-oceanografi dunia akan menertawakan kita,” sindirnya.

Ia juga mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam pernyataan JRN. Salah satunya adalah klaim bahwa pagar laut ini bertujuan mempermudah aktivitas nelayan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Keberadaan pagar laut justru mempersulit nelayan karena memaksa mereka menempuh rute lebih jauh, sehingga biaya operasional meningkat tanpa diiringi kenaikan pendapatan.

“Nelayan justru mengeluhkan dampak negatif pagar ini. Mereka harus memutar jauh, yang tentu saja merugikan. Ombudsman RI bahkan sudah mencatat kerugian nelayan akibat pagar laut ini mencapai Rp 8 miliar,” jelas Mulyanto.

Klaim bahwa pagar laut dibangun menggunakan dana swadaya nelayan juga dipertanyakan. Mulyanto menilai biaya pembuatan pagar laut sangat besar, yakni sekitar Rp 500 ribu per meter. Dengan panjang 30 km, total biaya yang diperlukan mencapai Rp 15 miliar. “Mungkinkah nelayan yang kondisi ekonominya memprihatinkan mengeluarkan dana sebesar ini untuk kepentingan publik yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara?” tanyanya.

Lebih lanjut, Mulyanto menegaskan bahwa penggunaan bambu sebagai bahan pagar laut untuk pemecah ombak tidaklah rasional. Menurutnya, selama ini pemecah ombak dibuat dari blok beton kokoh seperti tetrapod yang tersusun di pantai. “Klaim ini semakin menunjukkan kontradiksi dan ketidakwajaran,” tegasnya.

Ia menambahkan, pagar bambu tersebut lebih tepat disebut sebagai patok atau batas untuk proyek reklamasi. Oleh karena itu, Mulyanto mendesak pemerintah agar transparan mengenai tujuan sebenarnya pembangunan pagar bambu di sepanjang utara Laut Jawa. “Jangan malah ikut-ikutan bersandiwara seolah tidak mengetahui hal ini,” pungkasnya.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Infrastruktur

Index

Berita Lainnya

Index