Listrik Indonesia | Pemerintah Indonesia mengoptimalkan pengolahan sampah menjadi sumber energi terbarukan (waste to energy/WtE) guna mengatasi masalah lingkungan sekaligus meningkatkan pasokan listrik nasional. Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi konversi sampah menjadi energi listrik diperkirakan mencapai 3 Giga Watt (GW), menjadikannya solusi strategis untuk dua tantangan sekaligus: tumpukan sampah perkotaan dan transisi energi bersih.
Potensi Besar Sampah sebagai Sumber Energi
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa total sampah di Indonesia mencapai 1,7 miliar ton per tahun. Jumlah ini, menurutnya, dapat diolah menjadi listrik dengan kapasitas 2-3 GW melalui teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
“Dengan volume sampah yang ada, potensi energi yang dihasilkan sangat signifikan. Ini momentum untuk mengubah masalah menjadi peluang,” tegas Eniya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (7/3).
Perpres Integratif sebagai Payung Hukum
Untuk mempercepat realisasi proyek WtE, pemerintah sedang menyusun Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menyederhanakan regulasi pengelolaan sampah dan menarik minat investor. Perpres ini dirancang sebagai payung hukum terintegrasi, mencakup penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan sistem open dumping, pengurangan polusi sampah laut, serta insentif bagi pengembang PLTSa.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, menegaskan bahwa integrasi kebijakan ini sesuai arahan Presiden. “Penanganan sampah harus holistik, mulai dari hulu ke hilir. Perpres ini akan memastikan semua aspek terangkai dalam satu kerangka kerja,” ujarnya.
Tantangan Ekonomi dan Kompetisi dengan Batu Bara
Meski potensinya besar, pengembangan PLTSa masih terkendala tingginya biaya produksi listrik yang mencapai USD 18 cent per kWh, jauh di atas tarif listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang berkisar 5-6 cent per kWh. Eniya menyatakan pemerintah sedang merancang skema insentif dan skema feed-in tariff untuk meningkatkan keekonomian proyek WtE.
“Kami sedang menyusun skenario agar PLTSa lebih kompetitif, termasuk memastikan harga jual listrik yang menarik bagi pengembang,” tambahnya.
Dampak Positif bagi Lingkungan dan Ekonomi
Pengembangan WtE tidak hanya mengurangi beban TPA yang sudah overkapasitas, tetapi juga mendukung komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon sebesar 29% pada 2030. Selain itu, proyek ini berpotensi menciptakan lapangan kerja baru di sektor pengelolaan sampah dan energi hijau.
Langkah ke Depan
Pemerintah menargetkan Perpres terbit dalam tahun ini, disusul dengan pembangunan PLTSa percontohan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Kolaborasi dengan swasta dan lembaga internasional juga digencarkan untuk transfer teknologi dan pendanaan.
Dengan langkah ini, Indonesia berpeluang menjadi pemain utama dalam ekonomi sirkular sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.(KDR)
