Current Date: Selasa, 25 November 2025

Sugeng Suparwoto Soroti Tantangan Industri Nikel: Produksi Dikurangi, Fokus ke Hilirisasi dan Energi Terbarukan

Sugeng Suparwoto Soroti Tantangan Industri Nikel: Produksi Dikurangi, Fokus ke Hilirisasi dan Energi Terbarukan
Anggota Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto

Listrik Indonesia | Anggota Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menekankan pentingnya langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan industri pertambangan nasional, khususnya sektor nikel. Dalam sejumlah rapat dengan Kementerian ESDM dan pelaku industri, disepakati bahwa produksi nikel akan dikurangi secara signifikan guna menyesuaikan dengan kondisi pasar dan tekanan global.

"Produksi kita selama ini terlalu besar, mencapai jutaan metrik ton. Ke depan akan kita kurangi secara signifikan," kata Sugeng dalam sebuah siaran wawancaranya. Minggu, (7/4/1015). Langkah ini, menurutnya, bukan sekadar soal volume, tapi bagian dari strategi untuk memperkuat nilai tambah melalui industrialisasi.

Sugeng menekankan, Indonesia perlu beranjak dari sekadar hilirisasi menuju industrialisasi penuh—yakni mengolah nikel dan mineral lainnya seperti tembaga, timah, dan kobalt menjadi produk akhir bernilai tinggi, terutama untuk kebutuhan energi masa depan seperti baterai penyimpan energi (energy storage).

"Indonesia harus jadi pusat industri baterai dunia. Kita punya 40% cadangan nikel global, tapi belum dimaksimalkan secara optimal," ujarnya. Ia menambahkan bahwa dengan peralihan menuju energi baru dan terbarukan, kebutuhan akan penyimpanan energi kian mendesak, mengingat sumber seperti tenaga surya dan bayu bersifat tidak stabil (intermiten).

Lebih jauh, Sugeng mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan mencapai 8% oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto akan mendorong lonjakan permintaan energi secara drastis. Saat ini, konsumsi listrik per kapita Indonesia baru mencapai sekitar 1.400 kWh, dan diperkirakan akan naik menjadi 5.000 kWh pada tahun 2050.

"Lonjakan itu harus disiapkan sejak sekarang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, termasuk melalui energi bersih yang didukung oleh penyimpanan energi," tegasnya.

Namun di sisi lain, industri juga menghadapi tantangan berat, khususnya terkait penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang mulai menjadi syarat masuk ke pasar global, terutama Eropa dan Amerika Serikat.

Mulai tahun 2027, produk baterai yang masuk ke pasar Eropa wajib memiliki 'paspor baterai' berbasis ESG. Hal ini menuntut perusahaan-perusahaan pertambangan dan smelter di Indonesia untuk menyesuaikan diri, baik dari segi bahan baku, energi, hingga proses produksi.

"Smelter tak bisa lagi pakai pembangkit listrik batu bara. Harus beralih ke energi hijau, dan itu menambah beban biaya produksi," ujar Sugeng. Di tengah harga nikel dunia yang terus menurun, penambahan biaya ini dikhawatirkan dapat menggerus profit perusahaan dan mengancam kelangsungan investasi.

Sugeng juga menyoroti potensi penurunan penerimaan negara jika perusahaan mulai mengurangi produksi atau bahkan berhenti beroperasi. "Kalau mereka tidak bisa berproduksi karena terlalu banyak beban, dampaknya bukan hanya ke industri, tapi juga ke pendapatan negara dari PNBP dan pajak," tandasnya.

Ikuti ListrikIndonesia di GoogleNews

#Komisi XII DPR RI

Index

Berita Lainnya

Index